15 Maret 2008

MENGUAK WILAYAH YANG BELUM MERDEKA

Sejak suasana keterbukaan merasuki diskursus publik, muncullah gagasan-gagasan kritis yang memperingatkan ke(belum)merdekaan kita sebagai bangsa di saat semua lapisan masyarakat mulai sibuk memperingati kemerdekaan. Sejumlah issue diangkat, mulai dari kemerdekaan secara politis tapi belum merdeka secara kultural, hingga persoalan “penjajahan” baru dalam sendi-sendi ekonomi dan ranah budaya.

Kritik ini menjadi menarik karena memang substansi kemerdekaan tidak bisa dibatasi hanya dalam ritus upacara Detik-Detik Proklamasi atau arena perlombaan kampung (yang toh itu-itu saja). Kritik kemerdekaan selalu ingin membuka ruang refleksi/pemaknaan kembali kondisi (nasib?) bangsa kita dewasa ini. Sebagai bangsa yang telah memerdekakan diri selama 62 tahun, sungguhkah kita telah merdeka sepenuhnya?


Orientalisme: Suatu Cara Pandang Baru

Merefleksikan “kemerdekaan” tidaklah mudah. Salah satu syaratnya ialah menemukan cara pandang baru untuk membaca teks sejarah kemerdekaan di satu sisi dan kolonialisasi di sisi yang lain, ke dalam konteks kehidupan konkret masyarakat aktual (kekinian). Edward Said (1978), salah satu perintis utama studi kolonialisme asal Palestina, mengajukan gagasan tentang orientalisme. Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya timur sebagai "sesuatu yang asing" bagi masyarakat Barat, bahkan seringkali dipandang sebagai sejenis alien atau objek yang indah dan eksotik. Berbeda dengan pemahaman kolonialisme konvensional, orientalisme tak bisa disamakan dengan rasisme yang kasar dan brutal. Lebih tepat jika ia dipahami sebagai wacana yang memperlihatkan sense perbedaan yang fundamental antara "kami orang Barat" dan "mereka orang Timur". Jika kolonialisme berwatak dominatif, maka orientalisme adalah penguasaan yang sifatnya hegemonis. (Luna Lazuardi
, “Studi Kolonialisme”, Newsletter KUNCI, No. 3, November 1999).

Gagasan orientalisme Edward Said tersebut menjadi inspirasi berbagai praksis pemikiran untuk merefleksikan kemerdekaan. Memang, penindasan bangsa “Barat” terhadap bangsa “Timur” dalam arti yang represif sudah tidak terjadi dalam bentuk yang sama dengan era terdahulu sebelum Perang Dingin. Namun, hegemoni kebudayaan berorientasi “Barat” dalam alam pikiran, cita rasa dan perilaku masyarakat “Timur” masih terjadi. Bahkan hegemoni kebudayaan tersebut semakin tersebar luas lantaran operasi media massa modern.


Hegemoni dalam Arena Nasional

Namun, melulu menghadap-hadapkan “Barat” dengan “Timur” sepertinya tak lagi terlalu relevan dalam konteks paling aktual, mengingat praktik kekuasaan tidak selalu berlangsung secara linier sebagai pengaruh hegemonik dari “Barat” terhadap “Timur”, melainkan berlangsung dari pusat kekuasaan terhadap wilayah pinggiran, entah secara politik, ekonomi maupun kultural. Pendekatan pusat-pinggiran ini diperkenalkan oleh beberapa ilmuan dari mazab strukturalis, salah satunya Johan Galtung. Menurut model pengaruh hegemonik dalam struktur pusat-pinggiran, negara pusat mempengaruhi negara pinggiran, pusatnya negara pusat mempengaruhi pinggirannya negara pusat, dan pusatnya negara pinggiran mempengaruhi pinggirannya negara pinggiran.


Untuk memperjelas analisis kolonisasi hegemonik pusat-pinggiran tersebut ke dalam konteks masyarakat Indonesia (negara pinggiran), Amalinda Savirani
(2002) mengilustrasikan betapa rejim otoritarian Orde Baru selama lebih dari 30 tahun tidak hanya memberangus partisipasi masyarakat warga, melainkan juga merasukkan kekuasaannya ke dalam ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Politik masuk ke wilayah privat tempat tidur melalui program Keluarga Berencana yang secara tegas mengatur berapa banyak anak yang boleh dihasilkan dalam hubungan suami-istri. Politik masuk ke dapur dan menggelisahkan ibu-ibu Muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak yang diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Politik masuk ke dalam buku-buku sejarah agar secara tegas mengatur cara berpikir peserta didik tentang siapa pahlawan dan siapa pengkhianat di negeri ini.

Dengan demikian, menganalisis kolonialisme tidak selalu harus mengedepankan contoh pengaruh politik-ekonomi-budaya Amerika terhadap negara-negara dunia ketiga, melainkan bisa pula pengaruh kebijakan aparatus pemerintah sebagai pengatur ruang publik yang berdampak represif terhadap masyarakat warga, atau pengaruh budaya Jakarta terhadap gaya hidup masyarakat Solo, misalnya.


Alia Swastika (2003) mencontohkan,
bahasa anak Jakarta harus diakui telah mempengaruhi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia selama ini. Peran Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam menyebarkan bahasa Indonesia (Dede Oetomo, 1986). Media dan perangkatnya—terutama televisi dan radio— yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta, telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolah-olah paling keren dan paling enak didengar. Di Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda.

Ke(tidak)merdekaan Mimpi

Selain dipahami melalui operasi kekuasaan yang sedang berlangsung ke dalam produk dan proses kebudayaan, persoalan merdeka dan tidak merdeka bahkan terjadi pula dalam ketidaksadaran nafsu fantasi. Pintu masuk pemikiran tentang hal ini dibuka oleh Homi K. Bhaba, salah satu perintis orientalisme pasca Edward Said. Dalam konteks masyarakat Indonesia sekarang, kita bisa menyaksikan betapa ruang mimpi sekalipun tidak bisa steril dari kolonisasi hegemonik, entah yang berlangsung atas dasar pengaruh hegemoni global atau terjadi secara internal dalam arena nasional bangsa sendiri.


Primanto Nugroho (2003) memaparkan kuasa hegemonik mimpi masyarakat Indonesia modern ini. Tatkala
segenap konseptualisasi ide yang di masa sebelum krisis 1998 menerjang dapat diyakini untuk menentramkan hidup bermasyarakat telah rontok; baik pelembagaan bernegara, berbangsa, berkeluarga, beragama, bersekolah, maupun berkesenian. Semua kehilangan otoritasnya. Maka yang tinggal adalah igauan, gossip, ceracauan, ramalan, dan bisik-bisik, seperti yang banyak ditawarkan media massa kita. Dalam arus itulah mimpi mendapat tempatnya.

Menurut Primanto Nugroho, terdapat 3 mimpi masyarakat modern Indonesia saat ini: karier, gaji, dan masa depan. Di tengah arus krisis yang melanda negeri ini, adanya suatu karier dengan gaji yang dapat menghidupi masa depan dapat diterima akal maupun budi dan bahasa. Sehingga, biarpun masyarakat terus terhimpit dalam kesulitan hidup sehari-hari dari saat ke saat, mereka sekaligus juga dipacu untuk mau percaya bahwa suatu saat karier dengan gaji yang menghidupi masa depan pasti akan ada dalam genggaman.


Mimpi tentang karir tinggi, gaji besar dan indahnya masa depan tidak muncul dengan sendirinya dalam alam bawah sadar masyarakat. Ketiganya disebarluaskan oleh media massa melalui sintron dan film, iklan dan profil kesuksesan public figur. Akibatnya, konseptualisasi ide dan nilai-nilai tradisional seperti ungkapan “alon-alon waton kelakon” maupun bekerja dengan menjunjung tinggi integritas etika profesi tak lagi relevan bagi upaya menggapai mimpi itu. Dengan cara apapun, masyarakat baru bisa mengidentifikasikan modernitas ke dalam dirinya hanya jika mereka percaya pada konseptualisasi ide dan nilai-nilai yang diusung pesan media massa modern, menuju 3 mimpi itu. Berusaha bebas dari 3 mimpi itu sama halnya siap dituduh memberontak pada tata nilai yang sudah lazim dan umum.


***

Demikianlah, setelah kemerdekaan yang menapaki tahun ke-60, bangsa ini masih menyisakan sejumlah wilayah yang belum (di)merdeka(kan).
Pertanyaannya, sebelum terlampau berharap munculnya gerakan konkret untuk merintis kemerdekaan penuh itu, masih adakah ruang batin kita bersama untuk menyadari wilayah yang belum merdeka itu?

***

Read more!