01 Desember 2006

HEBOH KEKERASAN "SMACK DOWN" (Refleksi tentang Kekerasan, Kekuasaan, dan Pantang Kekerasan)

Sepekan terakhir ini perhatian kita terpusat pada jatuhnya korban nyawa anak-anak akibat menonton tayangan Smack Down di sebuah televisi swasta. Peristiwa itu nyaris mampu mengalihkan perhatian publik dari kasus-kasus penting lainnya seperti masalah lumpur Lapindo dan krisis BBM. Lalu, tanpa komando, banyak pihak serempak mengutuk keras penayangan program acara televisi yang mengandung kekerasan (fisik). Padahal, bukankah tayangan kekerasan dalam media massa semacam itu bukan persoalan baru? Lebih lagi, bukankah persoalan kekerasan dalam bentuk lain telah, sedang dan masih terjadi dalam keseharian hidup kita? Lantas, apa yang menarik untuk disimak lebih lanjut dalam tragedi terbaru yang satu ini?

***

Kekerasan yang merasuki keseharian hidup kita bukan berwujud peristiwa-peristiwa parsial yang terpisah-pisah satu sama lain. Kekerasan bukan persoalan kasuistik yang terkotak-kotak dalam perbedaan dimensi ruang dan waktu. Namun, kekerasan sudah menjadi situasi yang integral, saling terhubung antar peristiwa dan kasus-kasusnya, bahkan menjadi bahaya dan ancaman yang semakin solid terhadap kehidupan, martabat dan eksistensi hidup masyarakat manusia. Kasus jatuhnya korban anak-anak saat bermain smack down meniru tayangan Smack Down yang mereka tonton di televisi tidak cukup kita cermati sebagai kasus yang terpisah dari kekerasan lain. Kasus itu harus dicurigai punya kaitan dengan kekerasan dalam area lain yang lebih bersifat struktural: kultur bisnis televisi dan sektor ekonomi lain yang makin mengabaikan etika, berhubungan dengan kekerasan negara yang dengan sadar mengabaikan regulasi komunikasi massa dan pendidikan lantaran lebih mementingkan sektor lain yang lebih menguntungkan, dan dipengaruhi beratnya usaha untuk bertahan hidup yang harus ditanggung setiap warga masyarakat di tengah himpitan persoalan sehari-hari, terlebih mereka yang serba tidak berdaya secara ekonomi, politik dan kultural. Dan … keterpikatan anak-anak atas senjata mainan pun bukan sekadar pemandangan pemasaran produk pasar semata, melainkan kekerasan sistematis yang disosialisasikan secara kultur, dengan dukungan media massa tentunya.

Saya pernah merenungkan, mengapa kekerasan begitu saja mudah dibiarkan, dan sebaliknya begitu memikat untuk diminati, dilakukan, (bahkan) dinikmati dan dipercaya punya daya ampuh dalam memecahkan masalah dari yang paling remeh-temeh sekalipun.

Pertama, karena terjadinya kekerasan hanya butuh naluri alamiah yang mudah muncul dari diri setiap individu manusia. Kekerasan diawali prasangka atau pikiran negatif yang jauh lebih mudah muncul daripada pikiran kritis dan positif yang membutuhkan pendidikan dan latihan. Kekerasan dipicu pelampiasan keinginan bebas yang jauh lebih mudah dilakukan daripada memunculkan sikap bertanggung jawab dan membatasi kebebasan dengan kesadaran adanya batas etis dan normatif atas perilaku. Banyak kekerasan didorong amarah sebagai reaksi kejiwaan spontan jauh lebih mudah diaktualisasikan daripada bersikap sabar, toleran dan memaafkan.

Kedua, karena kekerasan menemukan dukungan yang jauh lebih luas daripada sikap sebaliknya. Bukankah banyak tindak kekerasan yang telanjur diterima dan diyakni mampu mengondisikan kehidupan bersama di tengah masyarakat menjadi lebih baik? Bukankah tindakan main hakim sendiri dan menyerahkan pada proses hukum sama-sama didasari tindak kekerasan untuk menekan ancaman kekerasan yang lain, dan toh keduanya sama-sama diterima? Bukankah nilai kedisiplinan dianggap mustahil jika tanpa kekerasan?

Ketiga, karena kekerasan menjamin berlangsungnya kekuasaan yang perlu/harus diselenggarakan untuk mencapai kepentingan banyak pihak.

***

Kemarin pagi, saat menjemput anak sulung di sekolah sembari mengumpulkan pemikiran untuk menuliskan artikel ini, saya dan sesama orang tua murid menyaksikan dua siswa SMP (letak SMP sekompleks dengan TK di mana si sulung bersekolah) sedang dihukum duduk di lapangan, membaca buku sambil memikul 2 bongkah batu bata merah di tengkuk, sementara kawan-kawan mereka berolah raga. Dua terhukum itu bersalah lupa dan tidak membawa pakaian olah raga. Menurut beberapa orang tua murid, hal itu bagus untuk menanamkan nilai kedisiplinan. Tapi kemudian terjadi diskusi di antara kami atas beberapa pertanyaan: jika di hari-hari olah raga berikutnya mereka selalu ingat membawa pakaian olah raga, sebenarnya mereka itu sudah disiplin atau hanya takut dihukum? Atau mereka hanya akan disiplin karena takut pada guru atau siapa pun yang bisa menghukum mereka? Lalu jika tak ada lagi orang yang mereka takuti, masihkah mereka akan berdisiplin?

Kekuasaan dan kekerasan sudah lama integral. Dua buah peradaban itu seperti dua sisi dalam keping mata uang yang sama. Satu mendukung yang lain, dari pelbagai level kehidupan masyarakat. Maka, di saat roda kehidupan publik diserahkan pengaturannya oleh sebuah kekuasaan, maka kekerasan menjadi halal untuk diterapkan. Sebaliknya, kalangan yang miskin kekuasaan bisa berusaha memperolehnya dengan menciptakan kekerasan. Itulah mengapa membiarkan ketertindasan dan keterpurukan masyarakat warga dalam waktu yang panjang sangat berbahaya bagi keadaban publik. Karena situasi miskin kekuasaan mendorong warga untuk menggunakan kekerasan untuk merebut kekuasaan atau menciptakan kekuasaan relatif dalam ruang-ruang tertentu yang masih mungkin bisa dikuasainya. Situasi ini hinggap dalam diri preman pasar, guru olah raga, kepala keluarga, hingga anak-anak … mereka sedang miskin kekuasaan, tapi butuh kekuasaan untuk melangsungkan kepentingan masing-masing.

***

Jika benar tayangan acara Smack Down merangsang anak-anak untuk bertindak kekerasan, benarkah anak-anak itu, yang miskin kekuasaan, sedang membutuhkan kekuasaan pada usia mereka? Kekuasaan macam apa yang dibutuhkan anak-anak? Untuk kepentingan apa kekuasaan yang mereka butuhkan?

Hakekat kekuasaan sebenarnya misterius. Ia bisa menghadirkan kenikmatan, kesenangan dan kondisi-kondisi lain yang wajar diharapkan manusia. Kekuasaan yang dibutuhkan anak-anak sesungguhnya tidak berbeda substansi dengan kekuasaan yang dibutuhkan George Walker Bush, presiden AS itu. Kondisi berkuasa artinya menjadi pihak yang mengatasi pihak lain, lalu mendapatkan keuntungan-keuntungan dari situ. Jika dengan kekuasaan presidennya, AS memenangkan pertentangan ideologi, perebutan pasar dan persaingan ekonomi, maka dengan kekuasaan dalam bentuk lain anak-anak bisa mengatasi kawan-kawan sebayanya untuk memenangkan antrean bermain di perosotan atau untuk tidak khawatir pensil warnanya dipinjam sampai patah atau hilang.

Demikianlah tayangan acara Smack Down menghadirkan sebuah inspirasi tentang bagaimana kekuasaan bisa diraih dengan tindak kekerasan. Dan … dengan mulai menerapkan kekerasan fisik seperti yang diilustrasikan dalam tayangan itu, anak-anak belajar dan berlatih bagaimana mendapatkan kekuasaan.

***

Lantas, bagaimana sebaiknya menyikapi masalah ini bersama anak-anak kita?

Akhir Oktober lalu, di saat sedang mengikuti rapat kerja kantor di Villa Erema, Cisarua, Bogor, saya terpaksa meninggalkan forum sejenak untuk menerima panggilan telepon dari anak sulung saya di Jakarta. Lebih dari 20 menit saya habiskan untuk berkomunikasi dengan anak berumur 4 tahun 2 bulan itu, hanya untuk mendiskusikan dan memutuskan apakah ia boleh bermain pistol mainan atau tidak. Barangkali saya bisa menggunakan cara-cara konvensional yang lebih efisien dari segi waktu dan pulsa, yakni langsung melarang dan mengancamnya, maka urusan cepat selesai! Namun, pembicaraan menjadi 20 menit lebih karena saya “diganggu” paham saya sendiri: bahwa penting untuk meniadakan akses anak-anak saya dengan pelbagai bentuk hiburan yang mengandung kekerasan termasuk senjata mainan, namun sekaligus penting pula untuk mengusahakan itu tanpa menggunakan kekerasan pula, seperti ancaman hukuman atau pukulan. Niscaya, saya membutuhkan waktu 20 menit lebih untuk berdiskusi dengannya (tentu saja dengan bahasa yang mudah ia pahami) lalu mengusahakan kesepahaman bersama, bahwa senjata mainan sekalipun mendorong kita semakin permisif terhadap kekerasan sejak dari perkara-perkara kecil, bahwa bermain-main kekerasan membiasakan kita untuk tidak peka atau gelisah pada jahatnya kekerasan, bahwa ketidakpekaan kita mematikan akal budi dan nurani kita untuk menghormati dan berbelas kasih pada manusia lain. Dan akhirnya kami sepakat: tidak boleh ada senjata (mainan sekalipun!) di rumah kami.

Efektifkan cara itu selamanya? Entahlah. Tapi sekurang-kurangnya sampai saat ini tinggal satu “pistol” plastik yang masih tersimpan di kardus mainan si sulung, itu pun hanya ia gunakan untuk menembakkan air ke tanaman dalam pot milik neneknya.

***


Jakarta, 1 Desember 2006

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Mas Felix, saya senang membaca tulisanmu, kata Pramudya, menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Salam, Inge Sundoko

11 Maret 2008 pukul 15.42.00 WIB  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda