17 April 2008

PERISTIWA BERDARAH DI BALIK "VALENTINE DAY"

Menjelang tanggal 14 Februari setiap tahun, orang muda di pelbagai penjuru dunia mulai disibukkan dengan banyak urusan menyambut Valentine Day. Memo kecil tulisan Valentine berjudul “Love from your Valentine” yang sangat terkenal itu menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengirimkan souvenir, hadiah, atau kartu bertuliskan ucapan senada seperti “Be My Valentine”, dikirimkan untuk si buah hati.

Sayangnya, tak banyak yang tahu bahwa perayaan Valentine Day itu mempunyai latar belakang peristiwa tertentu, yang bisa jadi akan mengagetkan setiap orang yang merayakannya. Mengapa?

Peristiwa Berdarah
Saat itu Kekaisaran Romawi diperintah oleh Claudius II Gothicus (268-270 Masehi). Menghadapi ancaman bangsa bar-bar Germania (sekarang Jerman) di Utara, ia membutuhkan penambahan jumlah pasukan infanteri yang sangat terlatih untuk peperangan di pegunungan berhutan lebat. Maka mobilisasi umum pun diselenggarakan untuk merekrut laki-laki Romawi sebanyak mungkin untuk dilatih dan dijadikan tentara Angkatan Darat (army). Tapi betapa sulit mendapatkan antuasiasme pemuda Romawi waktu itu. Ternyata hambatan utama mereka adalah terlalu beratnya meninggalkan istri, anak dan keluarga yang mereka cintai. Maka Claudius II Gothicus segera memberlakukan larangan perkawinan bagi semua laki-laki, dan membatalkan semua pernikahan yang sudah direncanakan. Pada saat yang bersamaan, semua laki-laki diperintahkan untuk masuk dinas ketentaraan angkatan darat Romawi.

Dan perlawanan pun terjadi, salah satunya dari orang-orang Nasrani. Sesungguhnya perlawanan mereka sudah muncul sejak pemimpin mereka, Jesus, orang Nasareth-Palestina, satu koloni Romawi di tanah Arab, menyebarluaskan ide tentang cinta kasih universal bagi semua orang, paham anti kekerasan, penindasan dan penjajahan. Setelah Jesus dibunuh dengan hukuman salib, para pengikutnya hidup dalam pengejaran, penganiayaan dan pembunuhan. Namun itu tidak menyurutkan perjuangan mereka menyebarluaskan ajaran Jesus, bahkan sampai ke kota Roma.

Saat peraturan larangan perkawinan diberlakukan, orang-orang Nasrani membangkang. Mereka dipimpin dua orang ulama/imam mereka, yakni Valentine dan Marius. Mereka tetap meresmikan pernikahan, tentu saja secara rahasia, membantu penyembunyian pembangkang yang dicari-cari aparat dan menolong keluarga korban penangkapan. Sampai suatu saat keduanya ditangkap tepat setelah upacara perkawinan selesai. Keduanya diseret ke pengadilan Roma, dan dijatuhi hukuman pukul tongkat sampai mati dan penggal kepala.Namun banyak orang muda tetap mengunjungi Valentine di penjara. Salah satunya adalah anak gadis dari salah satu penjaga penjara. Valentine dan si gadis bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercakap-cakap, saling menguatkan dan menyemangati. Dan pada hari pelaksanaan eksekusi, 14 Februari 269 Masehi, Valentine memberinya sebuah catatan kecil dan menandainya dengan ucapan “Love from your Valentine”. Catatan kecil itu menyebarluas, dan hari pelaksanaan eksekusi Valentine menjadi peringatan bagi seluruh dunia akan pentingnya semangat cinta kasih universal kepada semua orang, yang tidak boleh dikalahkan meski berhadapan dengan kekuasaan dan hukuman. Dan untuk kesetiaan Valentine (dan Marius) sampai mati dalam membela cinta kasih sejati itu, Gereja Katolik menganugerahinya gelar Santo, orang kudus.

Manipulasi Sejarah
Namun, peringatan perjuangan dan eksekusi mati Santo Valentine lambat laun menyimpang dari semangat dasar dan latar belakang sejarahnya. Ratusan tahun setelah peristiwa berdarah itu, orang-orang di Wales mengubahnya menjadi pesta romantis dengan saling mengirim hadiah sendok kayu berhias pahatan kecil gambar hati, kunci dan lubang kunci, yang artinya “engkau membuka kunci hatiku”, kepada lawan jenisnya. Lalu mulai abad pertengahan, Valentine Day menjadi sekedar arena merebut simpati si buah hati untuk diminta menjadi pasangannya. Di beberapa negara, jika seorang perempuan mendapatkan hadiah pakaian dari seorang laki-laki, itu artinya ia ingin menikahinya suatu saat kelak. Di lain tempat, jika seorang perempuan melihat burung gereja tepat di hari Valentine, artinya kelak ia akan menikah dengan orang miskin, tapi tetap akan hidup bahagia bersama. Sebaliknya kalau ia melihat burung goldfinch, ia boleh berharap suatu saat nanti akan menikah dengan seorang konglomerat yang kaya raya. Kemudian sejak awal 1800-an, tanggal 14 Februari berubah sama sekali menjadi tanggal paling komersial. Loveland, sebuah kota di negara bagian Colorado-Amerika Serikat, mampu meraup laba besar hanya dari bisnis jasa pos pengiriman kartu Valentine dan hadiah beraneka ragam bentuk. Dan begitu pula yang terjadi di banyak negara di pelbagai belahan dunia.

Ted Olsen (1997), jurnalis Catholic Online (http://www.christianitytoday.com) pernah mengkritik keras tradisi Valentine day ini. Menurutnya, Valentine berikut Marius dan latar belakang kematiannya tidak ada hubungannya dengan sekedar cinta romantis (romantic love). Kalau kita runut sejarah proses penyimpangan hikmah perjuangan Valentine, faktor pokok yang mempengaruhi penyimpangan itu tak lain dan tak bukan adalah kepentingan kapitalisme global, yang dalam kasus lain berhasil memanipulasi peringatan Santo Nicolaus atau dikenal dengan Santa Claus atau Sinterklas setiap tanggal 6 Desember menjadi pusat perhatian sekitar perayaan Natal lebih dari makna kelahiran Isa al Masih, tanda solidaritas Allah di tengah situasi hidup manusia yang penuh ketidakberesan (hanya karena Sinterklas bisa menjadi salesman hadiah Natal yang baik). Padahal tak banyak yang tahu bahwa Nicolaus dihormati dan diperingati atas komitmen sosialnya pada anak-anak miskin dan yatim piatu dan kegiatannya menyantuni mereka dengan berbagai barang kebutuhan sehari-hari (Neil Postman, 1995).Fenomena peringatan Valentine Day dan Santa Claus yang salah kaprah itu membuktikan bahwa keduanya telah menjadi obyek manipulasi sejarah sekaligus pendangkalan makna demi melangsungkan kepentingan kapitalisme. Keduanya telah dijadikan komoditas bagi industri barang dan jasa yang memberikan laba finansial perusahaan, dan bukan lagi menjadi momentum yang baik untuk seluruh umat manusia merefleksikan nilai-nilai cinta kasih universal, keadilan, anti kekerasan, dan anti-penindasan.

Kini, banyak orang muda tidak merasa perlu peduli lagi pada makna peringatan Valentine Day sesungguhnya. Penyebabnya adalah sistem pendidikan yang tidak mendorong munculnya kekritisan, pendidikan yang membelenggu kebebasan, yang anti-dialogika (Paulo Freire, 1985). Bukankah sesungguhnya orang muda berpotensi untuk terus-menerus ingin tahu dan berpikir tentang segala sesuatu, namun mereka dibodohkan sehingga menjadi sekedar banyak tahu dan hafal sederetan ilmu atau rumus? Apalagi situasi ini diperparah oleh kecerdikan –atau tepatnya kelicikan—sistem kapitalisme yang berhasil memanfaatkan kerdilnya pola pikir mereka ini menjadi sasaran penipuan dan manipulasi yang dikemas dalam bungkus entertainment atau hiburan yang sudah pasti lebih disukai, sehingga mereka berhasil dijadikan penganut ideologi dominan kapitalisme (Escobar, 1998).

Dalam kasus Valentine Day ini, nilai cinta universal (bagi semua orang) dan semangat menolak tirani yang anti cinta, sepertinya tidak laku untuk dijual. Maka, sebelum menawarkan barang dan jasa, sistem kapitalis menyebarluaskan ide bahwa Valentine Day adalah Hari Bercinta Sedunia, dan untuk merayakannya semua orang harus membeli banyak barang dan jasa sebagai hadiah, kenang-kenangan dan sarana pengungkapan afeksi yang dangkal.

Nilai Sejati Valentine Day
Maka, sebaiknya nilai sejati peringatan Valentine Day yang berintikan cinta universal perlu dihadirkan kembali. Cara ini sekaligus menjadi upaya pendidikan yang membebaskan (Paulo Freire, 1985) yang lebih sejati dan serius. Menyebarluaskan (kembali) makna sesungguhnya atas Valentine Day adalah satu dari sekian banyak cara menyelenggarakan transformasi pendidikan atas generasi muda kita di jaman sekarang, hingga mereka bersama masyarakatnya kembali memiliki cinta kasih sejati bagi semua orang, terlebih di dalam situasi bangsa yang tengah didera perpecahan antar golongan, kebencian dan curiga satu sama lain, kekerasan yang menjadi-jadi, dan individualisme-hedonisme massal.

Label:


Read more!

15 Maret 2008

MENGUAK WILAYAH YANG BELUM MERDEKA

Sejak suasana keterbukaan merasuki diskursus publik, muncullah gagasan-gagasan kritis yang memperingatkan ke(belum)merdekaan kita sebagai bangsa di saat semua lapisan masyarakat mulai sibuk memperingati kemerdekaan. Sejumlah issue diangkat, mulai dari kemerdekaan secara politis tapi belum merdeka secara kultural, hingga persoalan “penjajahan” baru dalam sendi-sendi ekonomi dan ranah budaya.

Kritik ini menjadi menarik karena memang substansi kemerdekaan tidak bisa dibatasi hanya dalam ritus upacara Detik-Detik Proklamasi atau arena perlombaan kampung (yang toh itu-itu saja). Kritik kemerdekaan selalu ingin membuka ruang refleksi/pemaknaan kembali kondisi (nasib?) bangsa kita dewasa ini. Sebagai bangsa yang telah memerdekakan diri selama 62 tahun, sungguhkah kita telah merdeka sepenuhnya?


Orientalisme: Suatu Cara Pandang Baru

Merefleksikan “kemerdekaan” tidaklah mudah. Salah satu syaratnya ialah menemukan cara pandang baru untuk membaca teks sejarah kemerdekaan di satu sisi dan kolonialisasi di sisi yang lain, ke dalam konteks kehidupan konkret masyarakat aktual (kekinian). Edward Said (1978), salah satu perintis utama studi kolonialisme asal Palestina, mengajukan gagasan tentang orientalisme. Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya timur sebagai "sesuatu yang asing" bagi masyarakat Barat, bahkan seringkali dipandang sebagai sejenis alien atau objek yang indah dan eksotik. Berbeda dengan pemahaman kolonialisme konvensional, orientalisme tak bisa disamakan dengan rasisme yang kasar dan brutal. Lebih tepat jika ia dipahami sebagai wacana yang memperlihatkan sense perbedaan yang fundamental antara "kami orang Barat" dan "mereka orang Timur". Jika kolonialisme berwatak dominatif, maka orientalisme adalah penguasaan yang sifatnya hegemonis. (Luna Lazuardi
, “Studi Kolonialisme”, Newsletter KUNCI, No. 3, November 1999).

Gagasan orientalisme Edward Said tersebut menjadi inspirasi berbagai praksis pemikiran untuk merefleksikan kemerdekaan. Memang, penindasan bangsa “Barat” terhadap bangsa “Timur” dalam arti yang represif sudah tidak terjadi dalam bentuk yang sama dengan era terdahulu sebelum Perang Dingin. Namun, hegemoni kebudayaan berorientasi “Barat” dalam alam pikiran, cita rasa dan perilaku masyarakat “Timur” masih terjadi. Bahkan hegemoni kebudayaan tersebut semakin tersebar luas lantaran operasi media massa modern.


Hegemoni dalam Arena Nasional

Namun, melulu menghadap-hadapkan “Barat” dengan “Timur” sepertinya tak lagi terlalu relevan dalam konteks paling aktual, mengingat praktik kekuasaan tidak selalu berlangsung secara linier sebagai pengaruh hegemonik dari “Barat” terhadap “Timur”, melainkan berlangsung dari pusat kekuasaan terhadap wilayah pinggiran, entah secara politik, ekonomi maupun kultural. Pendekatan pusat-pinggiran ini diperkenalkan oleh beberapa ilmuan dari mazab strukturalis, salah satunya Johan Galtung. Menurut model pengaruh hegemonik dalam struktur pusat-pinggiran, negara pusat mempengaruhi negara pinggiran, pusatnya negara pusat mempengaruhi pinggirannya negara pusat, dan pusatnya negara pinggiran mempengaruhi pinggirannya negara pinggiran.


Untuk memperjelas analisis kolonisasi hegemonik pusat-pinggiran tersebut ke dalam konteks masyarakat Indonesia (negara pinggiran), Amalinda Savirani
(2002) mengilustrasikan betapa rejim otoritarian Orde Baru selama lebih dari 30 tahun tidak hanya memberangus partisipasi masyarakat warga, melainkan juga merasukkan kekuasaannya ke dalam ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Politik masuk ke wilayah privat tempat tidur melalui program Keluarga Berencana yang secara tegas mengatur berapa banyak anak yang boleh dihasilkan dalam hubungan suami-istri. Politik masuk ke dapur dan menggelisahkan ibu-ibu Muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak yang diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Politik masuk ke dalam buku-buku sejarah agar secara tegas mengatur cara berpikir peserta didik tentang siapa pahlawan dan siapa pengkhianat di negeri ini.

Dengan demikian, menganalisis kolonialisme tidak selalu harus mengedepankan contoh pengaruh politik-ekonomi-budaya Amerika terhadap negara-negara dunia ketiga, melainkan bisa pula pengaruh kebijakan aparatus pemerintah sebagai pengatur ruang publik yang berdampak represif terhadap masyarakat warga, atau pengaruh budaya Jakarta terhadap gaya hidup masyarakat Solo, misalnya.


Alia Swastika (2003) mencontohkan,
bahasa anak Jakarta harus diakui telah mempengaruhi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia selama ini. Peran Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam menyebarkan bahasa Indonesia (Dede Oetomo, 1986). Media dan perangkatnya—terutama televisi dan radio— yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta, telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolah-olah paling keren dan paling enak didengar. Di Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda.

Ke(tidak)merdekaan Mimpi

Selain dipahami melalui operasi kekuasaan yang sedang berlangsung ke dalam produk dan proses kebudayaan, persoalan merdeka dan tidak merdeka bahkan terjadi pula dalam ketidaksadaran nafsu fantasi. Pintu masuk pemikiran tentang hal ini dibuka oleh Homi K. Bhaba, salah satu perintis orientalisme pasca Edward Said. Dalam konteks masyarakat Indonesia sekarang, kita bisa menyaksikan betapa ruang mimpi sekalipun tidak bisa steril dari kolonisasi hegemonik, entah yang berlangsung atas dasar pengaruh hegemoni global atau terjadi secara internal dalam arena nasional bangsa sendiri.


Primanto Nugroho (2003) memaparkan kuasa hegemonik mimpi masyarakat Indonesia modern ini. Tatkala
segenap konseptualisasi ide yang di masa sebelum krisis 1998 menerjang dapat diyakini untuk menentramkan hidup bermasyarakat telah rontok; baik pelembagaan bernegara, berbangsa, berkeluarga, beragama, bersekolah, maupun berkesenian. Semua kehilangan otoritasnya. Maka yang tinggal adalah igauan, gossip, ceracauan, ramalan, dan bisik-bisik, seperti yang banyak ditawarkan media massa kita. Dalam arus itulah mimpi mendapat tempatnya.

Menurut Primanto Nugroho, terdapat 3 mimpi masyarakat modern Indonesia saat ini: karier, gaji, dan masa depan. Di tengah arus krisis yang melanda negeri ini, adanya suatu karier dengan gaji yang dapat menghidupi masa depan dapat diterima akal maupun budi dan bahasa. Sehingga, biarpun masyarakat terus terhimpit dalam kesulitan hidup sehari-hari dari saat ke saat, mereka sekaligus juga dipacu untuk mau percaya bahwa suatu saat karier dengan gaji yang menghidupi masa depan pasti akan ada dalam genggaman.


Mimpi tentang karir tinggi, gaji besar dan indahnya masa depan tidak muncul dengan sendirinya dalam alam bawah sadar masyarakat. Ketiganya disebarluaskan oleh media massa melalui sintron dan film, iklan dan profil kesuksesan public figur. Akibatnya, konseptualisasi ide dan nilai-nilai tradisional seperti ungkapan “alon-alon waton kelakon” maupun bekerja dengan menjunjung tinggi integritas etika profesi tak lagi relevan bagi upaya menggapai mimpi itu. Dengan cara apapun, masyarakat baru bisa mengidentifikasikan modernitas ke dalam dirinya hanya jika mereka percaya pada konseptualisasi ide dan nilai-nilai yang diusung pesan media massa modern, menuju 3 mimpi itu. Berusaha bebas dari 3 mimpi itu sama halnya siap dituduh memberontak pada tata nilai yang sudah lazim dan umum.


***

Demikianlah, setelah kemerdekaan yang menapaki tahun ke-60, bangsa ini masih menyisakan sejumlah wilayah yang belum (di)merdeka(kan).
Pertanyaannya, sebelum terlampau berharap munculnya gerakan konkret untuk merintis kemerdekaan penuh itu, masih adakah ruang batin kita bersama untuk menyadari wilayah yang belum merdeka itu?

***

Read more!

15 Desember 2006

KOMUNIKASI PARTISIPATIF dalam PROSES PEMBERDAYAAN RAKYAT




Prolog
Upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia yang sedang berada di tengah-tengah krisis multi-dimensional dewasa ini sungguh berat dilaksanakan. Salah satu tantangannya terletak pada proses komunikasi sosial yang terjadi dalam pelbagai bidang: komunikasi politik, komunikasi media massa, komunikasi pembangunan, dsb. Beratnya tantangan di bidang komunikasi tersebut lebih-lebih disebabkan oleh berlangsungnya proses komunikasi sosial yang cenderung mengikuti pola strategi pembangunan selama lebih dari 4 dasawarsa terakhir yang ingin mendudukkan percepatan laju pertumbuhan ekonomi lebih daripada target lainnya (pemerataan misalnya).

Tulisan ini ingin mengulas bagaimana awal mula sebuah pilihan strategi pembangunan komunikasi sosial telah diambil dan diputuskan serta dilaksanakan oleh negara, namun kurang jeli (atau sengaja mengabaikan) dampak-dampaknya yang akan muncul di masa yang akan datang. Kemudian, tulisan ini juga ingin mengulas bagaimana komunikasi partisipatif sebagai pilihan lainnya telah ditawarkan kepada publik, termasuk elit penguasa negara, sebagai strategi alternatif menghadapi tantangan-tantangan dalam upaya pemberdayaan masyarakat tersebut.

Menilai Pembangunan
Pembangunan di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia memiliki keterkaitan antar ruang, waktu dan persoalan dengan segala situasi yang terbentuk di lingkup global/internasion­al. Seusai Perang Dunia II, banyak negara dunia ketiga yang terlibat perang (langsung maupun tidak) pada umumnya dilanda krisis yang parah. Negara-negara itu umumnya baru saja merde­ka dari kolonialisme negara-negara Eropa, sehingga banyak terjadi goncangan dan perubahan dalam konstruksi politik intern maupun dalam hubungan internasional. Sementara itu, struktur dan sistem ekonomi belum tertata dengan mantap, oleh karena begitu rapuhnya struktur ekonomi yang diwariskan negara penjajahnya. Demikian pula di tingkat kondisi kultur­al. Walaupun kemerdekaan politis telah diperoleh, belum tentu kemerdekaan kultural --dalam arti merdeka secara mental-- telah dimiliki.

Untuk memperbaiki kondisi dunia, --terutama pada awalnya-- kondisi negara-negara Eropa Barat, dan (baru kemudian setelah itu) negara dunia ketiga, Amerika Serikat berinisiatif memunculkan program bantuan ekonomi bertitel Marshall Plan. Bantuan itu mencakup dukungan modal, teknolo­gi, program-program pembangunan dan tenaga ahli. Tujuannya adalah untuk mempercepat peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara penerima bantuan, tentu saja dengan mekanisme pengaturan strategi sesuai proposal negara donor. Begitulah selanjutnya bantuan itu (tentu saja) mengkondisikan negara Eropa lebih dahulu berha­sil menata kembali kondisi ekonominya (oleh karena basis ekonomi yang lebih mantap tertata sebelum perang) dibanding­kan negara bekas koloni. Sejak itu, dimulailah penerapan paradigma pembangunan yang mempunyai karakter: vertical top-down (pola pembangunan ditransferkan begitu saja dari negara donor kepada negara penerima bantuan), bertumpu pada investasi modal asing, dan dijalankan sesuai dengan program dan rencana proyek negara-negara maju, dan diterapkannya teori trickle-down effect atau efek tetesan ke bawah, yang asumsinya: manfaat program-program intervensi sosial di negara-negara Dunia Ketiga akan menetes ke bawah kepada setiap orang, mulai dari mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekono­mi paling atas yang pertama-tama mengakses pesan-pesan kemajuan atas dukungan kemampuan ekonomi mereka, dan selanjutnya diteruskan kepada mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah (Jahi, 1993:75; Nasution, 1988).

Paradigma pembangunan yang berciri vertical top-down ini memunculkan beberapa masalah ser­ius. Dalam konteks Indonesia, pembangunan yang diterapkan sesuai dengan model itu menimbulkan bebera­pa permasalahan di bidang politik, ekonomi dan budaya, baik di tingkat negara maupun massa-rakyat/grass-root level. Di tingkat negara, terjadi ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap negara-negara donor. Bahkan ketergantungan tidak terbatas dalam hal modal saja, melainkan juga kebijakan ekonomi. Alhasil, kebijakan ekonomi Indonesia tidak pernah mandiri. Proyek-proyek yang diadakan dengan bantuan modal, teknologi dan tenaga ahli asing tidak pernah berjalan efek­tif-efisien seiring kepentingan bangsa, melainkan lebih tertuju untuk memenuhi kepentingan negara-negara donor. Sementara itu, Indonesia semakin terdesak untuk ikut ambil bagian dalam pasar bebas yang dipelopori oleh negara-negara maju, tetapi sebenarnya tidak mempunyai kekua­tan untuk menentukan mekanisme pasar sebagaimana yang bisa dilakukan oleh negara maju sebagai bentuk intervensi negara terhadap mekanisme pasar yang katanya bebas.

Ketergantungan ekonomi berimbas pada ketergantungan politik Indonesia terhadap kebijakan politik donatur (IGGI/CGI, IMF) maupun investor non-organisasi internasional, sehingga begitu mudahlah donatur mendikte arah politik dalam negara Indonesia. Adalah hal yang masuk akal misalnya, jika negara-negara maju lebih memberikan dukungan (support) terhadap rejim tertentu, jika rejim tersebut dinilai berhasil mempertahankan kepentingan negara maju di Indonesia. Meski hal ini mengabaikan aspirasi politik massa-rakyat Indonesia sendiri. Demikian pula sebaliknya, negara maju bisa saja segera berubah pikiran sejauh stabilitas politik di Indonesia tidak bisa lagi dijamin oleh rejim tertentu dan menyebabkan stabilitas ekonomi rapuh dan terlalu riskan bagi investasi modal negara maju dilanjutkan di Indonesia.

Ketergantungan di tingkat politik dan ekonomi menimbulkan ketergantungan kultural. Mentalitas dan cara berpikir masyarakat, sejak dari kaum elit peme­gang kekuasaan negara sampai massa-rakyatnya diformat menurut pola-pola propaganda kebudayaan negara-negara maju. Segala sesuatu yang menjadi sikap keseharian warga serba disesuaikan, diadaptasikan dengan selera negara maju. Maka, tak jarang terlihat banyak orang Indonesia mematut-matut diri agar senantiasa sesuai dengan gaya hidup, sikap, bahasa, selera, trend masyarakat negara maju, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Di tingkat massa-rakyat, terjadi ketidakberdayaan di bidang politik, ekonomi maupun budaya. Kekuasaan politik negara yang dijalankan oleh lembaga eksekutif tanpa mekanisme kontrol lembaga legislatif sebagaimana manifestasi negara berkedaulatan rakyat. Bahkan, mekanisme kerja lembaga legislatif pun pada akhirnya tidak mampu dikontrol oleh massa-rakyat pemilihnya (mengingat dalam perkembangannya, lembaga legislatif semacam DPR lebih mencerminkan kepentingan elit partai politik ketimbang massa-rakyat yang diwakilinya).

Pertumbuhan ekonomi yang bersendikan pertumbuhan kapital tidak diimbangi pemera­taan pendapatan mengakibatkan kekayaan tertimbun pada kelom­pok minoritas yang superior dalam penguasaan modal dan sumber daya, sementara kelompok mayoritas tetap terpinggirkan. Penerapan model "tetesan ke bawah" tidak mampu memberi hasil yang direncanakan. Pada kenyataannya, manfaat pembangunan tidak pernah "menetes" sampai jauh "ke bawah", tetapi hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat yang berada dalam kelas sosial teratas. Di banyak negara dunia ketiga, fenomena ini terlihat jelas dari timbulnya ketimpangan sosial ekonomi yang semakin parah (Jahi, 1993:57). Sementara itu sentralisasi informasi yang didukung perkembangan teknologi berlangsung begitu imperialistis sehingga masuklah peradaban Barat tanpa seleksi atau reserve. Hal ini menimbulkan erosi moral dan etika massa-rakyat seiring dengan proses yang sama yang terjadi dengan kaum elitnya. Dalam kurun waktu sampai tahun-tahun terakhir abad ke-20, serangkaian masalah itu terakumulasi sehingga memunculkan situasi krisis politik, ekonomi maupun budaya sampai saat ini.

Paradigma Lama Komunikasi Vertical Top-Down
Kondisi yang mensubordinasikan Indonesia dan negara-negara dunia ketiga dalam situasi global dunia; maupun subordinasi massa-rakyat berhadapan dengan pemegang kekuasaan negara dalam konteks situasi Indonesia (menurut Galtung: hubungan negara centre [C] dengan negara periphery [P] maupun antara centre-nya negara periphery [cP] dan periphery-nya negara periphery [pP], dalam Windhu, 1992:41-54) sangat dilestarikan oleh pola-pola komunikasi. Oleh karena itu, digunakanlah pendekatan komunikasi pembangunan, yakni disiplin ilmu dan praktikum komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana, untuk meningkatkan "pembangunan manusiawi", yang berarti komunikasi dilakukan dengan tujuan untuk menghapuskan kemiskinan, pengangguran dan ketidakadilan (Nasution, 1988:82).

Salah satu kajian penting dalam pendekatan komunikasi pembangunan adalah permasalahan betapa rendahnya partisipasi rakyat dalam proses pembangunan akibat minimalnya kesempatan terja­dinya komunikasi yang adil dan seimbang antara rakyat dan pembuat keputusan negara dalam menentukan jalannya proses pembangunan. Keprihatinan ini dicerminkan oleh proses pemban­gunan yang tidak selalu mengutamakan kepentingan dan partisi­pasi rakyat, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan politis (stabilitas, status-quo, kekuasaan), akumulasi modal dan pertambahan keuntungan elit ekonomi, maupun superioritas dan dominasi pengaruh dalam lingkungan kultural bangsa.

Paradigma lama komunikasi pembangunan menekankan pada proses komunikasi manusia yang dalam model komunikasi linier konvensional. Model ini merupakan gambaran proses komunikasi yang berlangsung secara linier (searah) dari sumber kepada penerima melalui media (sumber-pesan-media-penerima). Model linier-konvensional tersebut dapat pula tergambarkan secara vertikal mengingat struktur stratifikasi sosial ma­syarakat terbagi menurut kelas atas, menengah dan bawah.

Asumsi dasar paradigma ini adalah bahwa komunikasi sangat diperlukan dalam peme­cahan masalah-masalah masyarakat, dengan memberikan penekanan elemen kognitif komunikasi (elemen komunikasi yang mem­punyai sasaran pada perubahan pola pikir atau ideologi). Komunikasi dirancang sedemikian rupa sehingga pesan-pesan persuasif yang telah dibakukan secara terpusat disuntikkan sebanyak mungkin kepada masyarakat. Asumsinya, semakin banyak pengaruh persuasif (yang positif dan konstruktif) disuntikkan, masyarakat semakin tergerak untuk melakukan apa yang diprogramkan dalam pembangunan, sesuai format pesan tersebut, karena pola pikirnya telah berhasil diubah lewat proses komunikasi itu (Oepen, 1988:1; Jahi, 1993:77).

Kelemahan paradigma lama ini, terletak pada diabaikannya aspek struktural dari proses pembangunan (kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi, kaitan kultural, pengawasan media, dsb.) (Oepen, 1988:1-2). Bahkan, penekanannya pada kecanggihan teknologi komunikasi (terutama media massa), yang begitu diyakini mampu membawa perubahan psikologis individu dan sosial, dengan serta merta menggusur kemungkinan diperhatikan dan dikembangkannya model-model tradisional komunikasi antar­pribadi (interpersonal communication) dan komunikasi kelom­pok (group communication), yang pada kenyataannya masih sangat menentukan keberhasilan komunikasi dalam masyarakat di banyak daerah di Indonesia.

Kritik terhadap paradigma lama tersebut secara kritis diru­muskan dalam imperialisme "budaya" atau imperialisme "media", yaitu pandangan bahwa media dapat membantu "modernisasi" dengan memperkenalkan nilai-nilai "barat" dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya "keaslian" budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapita­lisme dan karenannya prosesnya "imperialistis" serta dilaku­kan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menem­patkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan khususnya Amerika Serikat (McQuail, 1994:99).

Paradigma Baru Komunikasi Partisipatif-Horisontal
Tahun 1976 Everett M. Rogers memproklamasikan usangnya Para­digma Lama Komunikasi Pembangunan, yang segera disusul pemun­culan tesis-tesis baru tentang perombakan komunikasi pemban­gunan. Untuk itu dibutuhkan strategi pembangunan yang lebih mandiri dan adil bagi masyarakat lapisan bawah secara terde­sentralisasi yang sama sekali berbeda dengan model "top-down" (Oepen, 1988:2). Seirama dengan itu, pemikir pembangunan Indonesia, Soedjatmoko (1987), menyatakan bahwa yang seharusnya menjadi prioritas perhatian dalam penyusunan kebijakan pembangunan di Indonesia adalah kemampuan untuk berkembang baik secara sosial, ekono­mis maupun politis, di semua tingkat dan dalam semua komponen masyarakat, sehingga memungkinkan bangsa yang bersangkutan untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan, lalu "survive" di tengah-tengah dunia yang tidak stabil, rumit dan makin tunduk pada persaingan. Pembangunan harus tidak sebagai sesuatu yang diperbuat --lewat kegiatan dan ketrampilan yang diperoleh-- melainkan sebagai sesuatu yang berlangsung sebagai proses belajar. Maka dimulailah era paradigma baru komunikasi dalam pembangunan di Indonesia, yang lebih berciri partisipatif-horisontal.

Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif-horisontal tersebut dimunculkanlah kembali (revitalisasi) konsep komunikasi antarpribadi (interper­sonal communication), media rakyat (folk media), komunikasi kelompok (group communication) dan model komunikasi dua tahap (two-step flow communication). Selain itu, oleh karena ikatan kultural di banyak daerah, masyarakat Indonesia masih mengakui kharisma agen perubahan atau opinion leader (pemuka pendapat dalam masyarakat seperti kyai, guru, kadus, pemuka adat dsb.) sebagai aktor penting dalam proses komunikasi masyarakat (Oepen, 1988:2). Akan tetapi, pentingnya peranan opinion leader tidak bisa diartikan sebagai "penguasa baru" melainkan hanyalah sosok panutan yang menjadi jembatan perantara diada­kannya perubahan pola komunikasi lama yang vertikal dan tergantung media menuju pola komunikasi yang horisontal yang sepenuhnya mengandalkan demokratisasi dan partisipasi rakyat.

Dalam paradigma komunikasi partisipatif-horisontal ini, semua massa-rakyat diundang untuk lebih berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horisontal, interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Dalam proses komunikasi, tidak hanya ada sumber atau penerima saja. Sumber juga penerima, penerima juga sumber dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang sederajat. Karena itu kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan "berbagi" atau "berdialog". Isi komunikasi bukan lagi "pesan" yang dirancang oleh sumber dari atas, melainkan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dikodifikasikan menjadi "tema". Dan tema inilah yang disoroti, dibicarakan dan dianalisa. Semua suara didengar dan diperhatikan untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Maka yang terlibat dalam model komuni­kasi ini bukan lagi "sumber dan penerima" melainkan partisi­pan" yang satu dengan yang lain (Wibowo, 1994:2-3).

Dalam komunikasi partisipatif-horisontal, media --dalam wujud hardware (perangkat keras, alat-alat, mekanik) maupun software (perangkat lunak, program-program)-- juga mengambil peranan penting. Tapi bukan sebagai sarana penyebar informasi atau pesan, melainkan sebagai sarana penyaji tema (Wibowo, 1994:3). Selain itu, praktek komunikasi partisipatif-horisontal pertama-tama sangat menekankan proses pembebasan masyarakat secara kultural, dari budaya apa pun yang mengkondisikan mereka "miskin suara" atau yang kita kenal dengan "budaya bisu" (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M], 1989). “Budaya bisu” dicerminkan oleh situasi manakala sebuah kebijaksanaan diterapkan dan diperintahkan untuk dilaksanakan, masyarakat tidak pernah sadar atau berdaya untuk menilainya dahulu dari sudut kepentingan dan keuntungan mereka sehingga seringkali kebijakan pembangunan yang sesung­guhnya lebih menguntungkan penguasa modal dan kekuasaan pemerintahan tidak mereka ketahui dan tinggal mereka laksanakan saja. Maka, pembebasan rakyat dari “budaya bisu” berarti menggalakkan upaya apa saja untuk membantu rakyat memunculkan kesadarannya terhadap apa saja yang dilaksanakan oleh negara ini, agar senantiasa bisa berorientasi pada kepentingan rakyat. Untuk itu dibutuhkan proses pendidikan politik yang intentis, yang membuat rakyat sadar akan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan, tidak sekedar menjadi pelaksana, melainkan menjadi penentu segenap proses lahirnya kebijakan sampai pelaksanaan sebuah kebijakan.

Epilog
Paradigma komunikasi partisipatif-horisontal memungkinkan lahirnya harapan baru akan semakin intensifnya upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia menuju situasi yang lebih demokratis, berdaya, merdeka sepenuhnya, dalam kerangka civil society. Namun yang perlu diingat, perintisan komunikasi partisipatif tidak mulai dari tingkatan struktur atas yang hanya menjangkau aspek hukum dan perundangan, sistem pemerintahan dan niat baik elit penguasa, melainkan perlu dirintis sejak dari kehidupan sehari-hari dan persoalan sederhana dalam masyarakat itu sendiri.


REFERENSI
Fakih, Mansour, Budaya Bisu, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, 1989.
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta, 1994.
Nasution, Zulkarimein, Komunikasi Pembangunan, Erlangga, Jakarta, 1988.
Oepen, Manfred (ed.), Media Rakyat, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, 1988.
Wibowo, Fred, “Komunikasi Media Teater Rakyat”, Paper Workshop Komunikasi Teater Rakyat, Studio Audio Visual-Universitas Sanata Darma, Yogyakarta, 1994.
Windhu, I. Marsana, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Kanisius, Yogyakarta, 1992.

(Catatan: Untuk tulisan Dr. Soedjatmoko (1987) dan Amri Jahi (1993) belum diketahui identitas kepustakaannya karena kedua buku tersebut sudah hilang pada saat daftar referensi ini ditulis.)

Read more!

07 Desember 2006

GERAKAN PEMOEDA UNTUK REKONSILIASI INDONESIA


MELIHAT KENYATAAN
Dalam menapaki penggal zaman yang sering disebut-sebut “era Reformasi” saat ini, bangsa Indonesia acap kali berhadapan dengan pelbagai peristiwa konflik dengan kekerasan di pelbagai lapisan masyarakat dan pelosok daerah. Luka-luka massa-rakyat akibat salah urusnya negeri ini di masa lampau ikut memicu kemunculan berbagai masalah kekerasan di daerah-daerah.

Yang memprihatinkan, concern terhadap berbagai kasus konflik dengan kekerasan tersebut belum juga berhasil menuntaskan akar permasalahannya sendiri, sehingga –biarpun banyak analisis telah ditindaklanjuti dengan berbagai program aksi penyelesaian konflik—permasalahan-permasalahan kekerasan tersebut terus terjadi, bahkan meluas-menyebar menjadi bentuk-bentuk konflik kekerasan yang lain seperti semakin brutalnya tindakan main hakim sendiri, tawuran antar pelajar dan kampung, premanisme maupun kontra premanisme, sampai konflik kekerasan dengan latar belakang perpecahan antar etnis dan pemeluk agama. Sementara itu, pemoeda sebagai generasi yang sering diberi predikat “penerus bangsa” belum cukup maksimal menyumbangkan keterlibatan mereka dalam mengatasi masalah ini; biarpun dalam beberapa pengalaman justru kelompok, organisasi dan lembaga yang secara intensif memiliki concern terhadap masalah konflik dengan kekerasan ini digerakkan oleh mereka yang masih disebut pemoeda.

Oleh karena itu, peran pemoeda untuk melibatkan diri dan menyumbangkan segala potensi mereka secara khusus dalam penyelesaian berbagai konflik kekerasan dan upaya merintis perdamaian di Indonesia perlu ditingkatkan. Terlebih lagi, peran tersebut perlu menekankan keterbukaan dan kerja sama lintas etnis dan agama, demi keutuhan masyarakat bangsa.

MENILAI PERMASALAHAN
Sebagaimana situasi integrasi masyarakat selalu terancam oleh disintegrasi sosial, keutuhan bangsa dan negara Indonesia pun senantiasa menghadapi ancaman perpecahan akibat salah mengelola konflik sosial yang terjadi di dalamnya. Konflik itu sendiri sesungguhnya suatu proses dinamis dalam setiap masyarakat, sejauh kita percaya bahwa banyak perbedaan sosial mustahil disatukan –apalagi diseragamkan(!)—sepenuhnya. Bahkan tanpa konflik, suatu masyarakat tidak akan pernah terdorong untuk maju, karena justru dengan adanya konflik setiap anggota masyarakat belajar untuk menemukan sendi-sendi kekuatan bersama yang menentukan setiap dimensi politis (cara mengatur kehidupan bersama) dari perkembangan masyarakat.

Masalahnya sekarang, kita telanjur mengalami suatu paruh zaman di mana konflik diharamkan, demi terciptanya harmoni (ke-serba serasi-an) dalam masyarakat, meskipun seringkali sangat artificial (dibikin-bikin) dan bersifat “seolah-olah”, sejauh masih ada dan efektifnya struktur kekuasaan yang menjaga, menjamin dan memaksakan situasi tersebut. Akibatnya, masyarakat yang tidak terbiasa menghadapi konflik secara dewasa tiba-tiba berhadapan dengan situasi di mana kekuasaan penjamin-penjaga-pemaksa harus luluh berhadapan dengan gerakan perlawanan (pro-demokrasi) massal. Ketidakbiasaan, keterasingan dan ketidakdewasaan dalam menghadapi konflik cenderung mengkondisikan masyarakat berlaku salah dalam mengelola konflik tersebut. Akibat berikutnya, seringkali konflik diselesaikan dengan tindakan kekerasan, yakni buah “keteladanan”(?) dari penguasa yang selalu mengedepankan tindakan kekerasan dalam menekan konflik itu sendiri.

Situasi tersebut diperparah dengan munculnya –secara beramai-ramai—kepentingan politik individu, kelompok, atau golongan yang ikut berperan dalam memainkan berbagai peristiwa konflik yang terjadi. Sehingga tak jarang konflik mengalami pembiasan dari pokok persoalan semula, cepat atau lambat menjadi besar dan meluas, sehingga meledak dalam peristiwa kekerasan di berbagai daerah.

Ledakan-ledakan kekerasan yang semula berskala kecil yang terjadi terpisah-pisah di berbagai daerah lambat laun mempengaruhi kehidupan masyarakat seluruh di tingkat nasional, persis seperti proses akumulasi intensitas kekerasan dalam alur spiral kekerasan (Camara, 1971). Akibatnya, pola kehidupan masyarakat dicemari dengan suasana kekerasan: keinginan untuk menyelesaikan konflik hampir selalu berhadapan dengan dorongan untuk mencari kemenangan terhadap lawan konflik, dan untuk itu hampir tidak ada referensi tindakan lain selain tindakan kekerasan yang pada gilirannya menjadi pilihan. Situasi harmoni yang artificial segera digantikan oleh situasi kekerasan, chaostic, kacau, serba sulit terkendali kembali.

Maka, dalam situasi separah itu, tidak hanya aksi-aksi manajemen konflik kasuistik yang perlu diselenggarakan, melainkan rekonsiliasi yang dirintis terus-menerus. Targetnya jelas: tidak hanya menyelesaikan konflik-konflik secara kasuistik, melainkan merintis dan menciptakan perdamaian sejati kembali di seluruh lapisan masyarakat secara nasional, mulai dari linkup yang paling kecil (tingkat basis).

BUDAYA DAMAI SEBAGAI BUDAYA TANDING
Satu anasir yang sangat mempengaruhi parahnya situasi kekerasan dalam masyarakat adalah begitu dominannya budaya kekerasan yang meracuni pola kehidupan sosial. Budaya tersebut tidak tercipta seketika akibat terjadinya peristiwa kekerasan, melainkan mempengaruhi pola pikir, cita rasa dan perilaku masyarakat secara evolutif, perlahan-lahan, tapi pasti dan sistematis. Selama budaya kekerasan ini masih cukup dominan mempengaruhi masyarakat, menjadi satu-satunya referensi dalam laku-sikap hidup warga masyarakat, selama itu pula upaya rekonsiliasi tidak akan pernah terwujud. Artinya, dibutuhkan suatu upaya perlawanan yang tak kalah intensif, pasti dan sistematis terhadap budaya kekerasan. Dibutuhkan budaya damai (sebagai lawan dari budaya kekerasan) sebagai budaya tanding.

Budaya damai merupakan integritas pola pikir, cita rasa dan perilaku individu, kelompok/komunitas, seluruh masyarakat yang mencerminkan kecintaan pada perdamaian dan kedamaian. Budaya damai terbangun dari struktur cara berpikir yang menolak setiap tindakan dan sistem kekerasan, didukung cita rasa yang anti, benci, jijik terhadap kekerasan dan –oleh karena itu—menghargai perdamaian secara total, dan sikap/tindakan konkret tanpa kekerasan yang mencerminkan manusia cinta damai. Budaya damai merupakan (performance) utuh kemanusiaan lebih daripada sekedar wacana. Akhirnya, dari yang lingkupnya personal, budaya damai perlahan-lahan tapi pasti perlu terus-menerus didorong menjadi suasana kehidupan bersama.

Upaya menghadirkan budaya damai saat ini hampir selalu menemui sikap sinis, sama halnya menyosialisasikan sikap dan gerakan anti-kekerasan yang tak jarang bertemu dengan cemoohan. Hal ini disebabkan oleh karena begitu dominannya budaya kekerasan yang tertanam dalam keseharian masyarakat. Oleh karena itu, jika ingin melawan budaya kekerasan, perlu upaya menyosialisasikan budaya damai dengan pelbagai cara yang mungkin dilakukan, dari yang sederhana berlingkup terbatas hingga cara-cara kreatif-canggih berlingkup luas.

Dalam konteks generasi pemoeda, sosialisasi budaya damai sebagai budaya tanding masih harus berhadapan dengan budaya populer yang --seiring dengan kemajuan teknologi informasi—semakin banyak dianut dan kemudian mempengaruhi setiap perilaku hidup mereka. Seringkali dijumpai masalah, budaya damai yang diperkenalkan dan ditawarkan kepada pemoeda sebagai budaya kolektif dianggap kurang sesuai dengan trend kebutuhan dan kesukaan mereka dewasa ini, yang lebih berorientasi pada hiburan (seperti musik, fashion, film) dan kesuksesan hidup individual (karir). Tapi bagaimanapun demi kuatnya komitmen pada perdamaian, sosialisasi budaya damai terhadap generasi pemoeda harus tetap dilancarkan, kalau perlu memanfaatkan alam pikiran, interest dan gaya mereka, serta menggunakan media yang tak kalah kreatif serta canggih seperti yang digunakan pada sosialisasi budaya poluper.

MENGGALI SPIRITUALITAS PERDAMAIAN
Dalam konteks yang lebih spesifik, salah satu potensi kekuatan yang sesungguhnya sudah dimiliki masyarakat Indonesia yang beriman dan beragama adalah adanya nilai-nilai perdamaian yang diwahyukan oleh Allah kepada setiap agama yang dianut. Artinya, tidak ada alasan bagi setiap orang yang memeluk agama tertentu demi imannya untuk menolak nilai-nilai perdamaian.

Sebagai contoh, sejauh yang bisa dibagikan/disharingkan dari penggalian/refleksi iman, spiritualitas perdamaian dalam nilai-nilai Kristiani bisa dijabarkan dalam beberapa pokok, yaitu:

Pertama, manusia diciptakan secitra dengan Allah Sang PenciptaNya. Artinya, manusia diciptakan dengan sejak semula mewarisi kebaikan-kebaikan Allah: memiliki nilai-nilai cinta, kasih, perdamaian, keadilan, kebenaran, persaudaraan, kesederajatan. (Kitab Kejadian 1:26-28). Karena mewarisi dan memiliki kebaikan Allah, interaksi antar manusia adalah damai pada mulanya. Tapi, karena mulai muncul pengingkaran pada nilai-nilai kebaikan Allah (misalnya keinginan manguasai, mau menang sendiri, mencari keuntungan sendiri, menikmati ketaklukan sesama manusia lain terhadap dirinya sendiri, maka perdamaian dirusak sendiri oleh manusia. (misalnya Kitab Kejadian 4:1-16)

Kedua, manusia hendaknya menghargai kehidupan. Allah Sang Pencipta yang menciptakan manusia dan kehidupan alam semesta berikut segala isinya adalah Allah yang hidup, Allah sumber hidup (Injil Yohanes 1). Maka, manusia yang diciptakanNya dan diberiNya kehidupan sudah semestinya memperjuangkan kehidupan yang diberikan kepadanya itu oleh karena cinta dan kasih Allah. Sebaliknya, manusia yang tidak menghargai kehidupan yang sudah diberikan kepada Allah –dengan melakukan kekerasan atau bahkan pembunuhan dan pemusnahan kehidupan—sama dengan manusia yang terlepas dari akar peciptaanya, yakni Allah sendiri. Pendek kata, manusia yang tidak menghargai hidup adalah manusia yang tidak mengakui dan menghormati Allah, atau dengan kata lain, alangkah mustahilnya manusia mengakui dan menghormati Allah tapi dia melakukan tindakan yang berlawanan dengan Allah.

Ketiga, penghargaan kepada kehidupan manusia dan kemanusiaan. Penghargaan pada kehidupan mengerucut pada penghargaan yang terutama pada kehidupan manusia dan kemanusiaan. Ini bukan berarti manusia tidak perlu menghargai kehidupan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan, tapi hanya lebih memprioritaskan kehidupan manusia, dan oleh karena itu Allah mengaruaniakan kepada manusia kekuasaan untuk memanfaatkan alam demi mempertahankan kehidupannya. (Misalnya Kitab Kejadian 1: 28-30).

Penghargaan kepada kehidupan manusia merupakan salah satu ciri khas manusia dengan makhluk hidup lain dan makhluk mati yang diciptakan Allah. Karena, hanya manusia yang mampu menghargai kehidupan sesama manusia dan makhluk lain, sedangkan ini tidak terjadi pada makhluk lain. Misalnya, hewan hanya mampu menghargai kehidupan makhluk sejenis (sesama hewan), terutama satu species dan satu keturunan. Sedangkan makhluk lain sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menghargai makhluk lain itu. Sebaliknya, jika manusia tidak mampu menghargai kehidupan sesama manusia, ia tidak akan pernah berhasil menjadi manusia sewajarnya.

Keempat, sikap anti-kekerasan. Penghargaan kepada hidup manusia menuntut konsekuensi pola pikir, disposisi sikap dan komitmen memperjuangkan hidup manusia, atau menghindarkan semua manusia dari segala situasi yang mengancam kehidupannya, seperti kekerasan dan pembunuhan, ketidakadilan dan penindasan. Maka penghargaan kepada kehidupan perlu diwujudkan dengan sikap anti-kekerasan. (misalnya Injil Markus 12:28-34 tentang Cinta Kasih, Injil Yohanes 7:53-8:11 tentang Perempuan yang Berzinah).

MERINTIS PEMBARUAN
Mempertimbangkan segenap persoalan dan tantangan tersebut, rekonsiliasi sebagai gerakan hidup bersama perlu terus-menerus diselenggarakan dalam berbagai aksi konkret seperti:
Pertama, sosialisasi nilai-nilai perdamaian dan anti-kekerasan.
Kedua, sosialisasi metode-metode manajemen konflik demi perdamaian, dengan cara seperti pelatihan-pelatihan ketrampilan negosiasi dan mediasi.
Ketiga, ajakan hidup dalam komunitas-komunitas plural serta menguatkan ikatan komunitas plural yang sudah ada dalam masyarakat (seperti tradisi-tradisi kekeluargaan kampung/ lingkungan pemukiman).

Segenap aksi konkret tersebut perlu diintegrasikan dengan upaya yang tak kalah serius dalam kontekstualisasi nilai-nilai iman dan ajaran-ajaran agama terhadap cita-cita perdamaian. Dengan demikian, agama benar-benar menjadi tatanan atau pegangan hidup bermasyarakat yang justru menyemaikan spiritualitas perdamaian di kalangan penganutnya (termasuk generasi pemoeda), dan bukannya menjadi sarana menyuburkan situasi kekerasan dalam masyarakat. (*** )


Jakarta, 7 Desember 2006

(Ditulis ulang dari makalah untuk Dialog Nasional “Pemuda sebagai Generasi Penerus dalam Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Paradigma Reformasi” – Hotel Wisata-Jakarta, 29 Oktober 2001)

Read more!

05 Desember 2006

SELAMATKAN KESADARAN "KAUM PENIKMAT"


Apa mau dikata, jika kenyataan menunjukkan bahwa di tengah-tengah perubahan situasi Indonesia yang berlangsung begitu cepat sekaligus tak mudah dipahami seperti dewasa ini, masih terdapat orang muda dalam jumlah cukup besar yang “gagap” dalam menghadapinya. Budi bahasa politik yang digunakan secara “massal” oleh media massa dalam menyebarluaskan lukisan peristiwa demi peristiwa ternyata tidak bisa begitu saja mudah ditangkap oleh “massa” orang muda. Sehingga tak banyak di antara mereka yang benar-benar memahami dalam situasi macam apa (lagi) mereka kini. Akibatnya, bermunculanlah suatu generasi yang terseret arus deras gelombang jaman tanpa tahu bagaimana mereka harus berusaha berpegangan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Keberartian dan Keberdayaan yang Hilang
Satu penyebab kebobrokan serius tentang kondisi orang muda yang demikian itu adalah marginalisasi (peminggiran) orang muda dalam kehidupan sosial politik). Buktinya, praktek depolitisasi (pemberangusan hak berpartisipasi aktif dalam politik) tidak hanya telah diterapkan terhadap mahasiswa dalam lingkungan pendidikan tinggi sejak NKK/BKK 1978, melainkan juga memengaruhi seluruh format pendidikan formal orang muda. Dari tingkat dasar hingga menengah-atas, pendidikan orang muda dijalankan justru untuk upaya “pengebirian potensi kritis”: akal sehat dan suara hati semakin dijauhkan dari sentuhan keprihatinan konkret masyarakatnya, dan iming-iming kesuksesan pribadi dijejalkan dalam alam imajinasi mereka sejak kecil.

Akibatnya sunguh menerikan, dan –barangkali- belum pernah dibayangkan sebelumnya. Orang muda menjadi semakin kehilangan keberartian dan keberdayaannya sebagai orang muda dan pribadi manusia. Persis seperti yang disesalkan Paulo Freire, dalam kondisi seperti ini, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali menjadi “pengikut kelompok penguasa” dan “penganut ideologi dominan” atau pikiran untuk memuja-muja penguasa dan kekuasaan (Escobar, 1998). Dua kutub inilah sumber kesuksesan hidup di masa depan yang telanjur menjadi impian yang mereka yakini sejak kecil.

Karena kehilangan keberartian sebagai manusia muda, mereka tidak lagi peduli dengan potensi yang mereka miliki di usia muda. Semangat menjadi pemoeda bukan lagi barang penting yang harus mereka miliki. Pengalaman sejarah para pendahulu bangsa yang memperjuangkan nasib bangsanya sejak mereka menjadi pemoeda tidak lagi menempati tempat terhormat dalam memoria mereka, sehingga jangankan meneladani mereka, kehendak untuk menghormati jasa mereka saja sulit melintas dalam benak pikiran.
Bahkan lebih parah lagi, sesungguhnya tak banyak yang mereka pikirkan dan rencanakan untuk menghadapi tantangan masa depan. Seringkali muncul dalam pikiran mereka: telah ada “jalan tol keberhasilan” yang tinggal mereka lalui menuju masa depan, lurus dan serba mudah-mulus. Itulah dampak dari diterapkannya ideologi “pembangunanisme” selama orde Soeharto berkuasa, yang secara timpang berorientasi melulu pada keberhasilan ekonomi, sekaligus berdampingan dengan stabilitas keamanan dan depolitisasi nasional sebagai syarat mutlaknya.

Pengaruh Televisi
Kebobrokan itu semakin diperparah oleh kemajuan teknologi komunikasi elektronika, khususnya televisi. Kemajuan teknologi televisi yang muncul begitu dahsyat sejak akhir 1980-an telah berhasil mengubah wajah masyarakat, termasuk orang muda. Dalil “The Global Village” (gambaran teori ini sering dipermudah: dunia serasa sesempit sebuah desa) dari buah pemikiran ahli komunikasi Marshall McLuhan berhasil menjelaskan betapa teknologi komunikasi-informasi secara gilang gemilang mengambrukkan batas-batas ruang dan waktu (Stephen W. Littlejohn, 1996). Sehinga perkembangan peradaban di Amerika Serikat bisa dengan cepat dan mudah dihadirkan di ruang televisi di rumah-rumah Jakarta.

Persoalannya, kemenangan gelombang siaran televisi mengalahkan batas ruang dan waktu tidak pernah diikuti kelahiran pemikiran bijak tentang berbagai kemungkinan buruk yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan budaya berbagai belahan dunia yang ditembusnya. Maka jangan heran ketika kebudayaan “hiburan” di Amerika Serikat saat ini bisa begitu saja diimitasi (ditiru) orang muda di Jakarta: perilaku, cara berpakaian, bahasa, bahkan relasi antara laki-laki dan perempuan dan perilaku seksual pun harus diformat kembali atau disesuaikan dengan gaya orang muda Amerika, kalau tak ingin dicap “kurang beradab” (biasa diterjemahkan secara bebas tak bertanggungjawab dengan istilah “kurang gaul”). Kalau Neil Postman (1995) mengutuk budaya televisi sebagai penyebab merosot tajamnya kualitas diskursus dan konversasi (khasanah dialektika pemikiran dan perbincangan) masyarakat Amerika Serikat, apa yang akan dikomentarinya tentang masyarakat Indonesia?? Bukankah dengan begitu kita sekarang tanpa sadar sedang mengimitasi kebobrokan hanya karena itu terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat yang telanjur dinobatkan sebagai “masyarakat paling maju kebudayaannya” dewasa ini?

Dalam konteks hiburan, masyarakat dan khususnya orang muda kita sudah menjadi semacam “kaum penikmat”, sebutan untuk konsumen hiburan: pemakai segala macam produk kebudayaan yang diformat dalam bentuk hiburan. Akibatnya mungkin tidak begitu tampak, tetapi sesungguhnya bisa diramalkan akan menjadi sangat mengerikan. Bisa dikatakan, menyuntikkan heroin dan menghisap ganja akan punya dampak yang sama buruknya dengan menyaksikan tayangan televisi tanpa screen saringan) kekritisan dalam benak pikiran kita; sama-sama meninabobokkan kita dalam kenikmatan imajinasi tentang situasi serba bahagia, aman-nyaman-tenteram dan tanpa ada persoalan lagi yang perlu dipikirkan apalagi dihadapi sebagai tantangan. Semacam chatarsis menurut kritik teater Aristoteles, yakni pemuasan dan pelepasan afeksi (perasaan) manusia setelah meluapkan emosinya dengan rangsangan kenikmatan (teater) hiburan. Begitu efek chatarsis ini mempengaruhi indera dan otak manusia dalam waktu sekian lama, maka kesadaran kritis dalam pola pikir dan hati nurani manusia tak akan tumbuh sehat, sudah ditumpulkan, bahkan cacat(!). Dan tinggallah sebatang tubuh yang inginnya have fun terus-menerus, siap dihantarkan pada tragedi kehancuran manusia seperti diramalkan Aldous Huxley: “manusia justru mencintai sang penindas, memuja berbagai teknologi yang memandulkan kemampuan berpikirnya, hingga kehancuran kita bukan disebabkan oleh segala hal yang kita benci, namun disebabkan oleh hal-hal yang (justru!) kita sukai” (Postman, 1995).

Maka perjuangan menyelamatkan kesadaran kritis masyarakat, terutama orang mudanya, menjadi semakin mendesak untuk dipikirkan dan digerakkan. Tanpa upaya ini, jangan harap kebobrokan mental dan struktur masyarakat Indonesia yang “sakit” ini terselesaikan, karena pergantian rezim bobrok akan segera disusul generasi muda penerusnya yang tak kalah bobroknya, dan siap membawa kepemimpinan bangsa dalam pelbagai sektor menuju kebobrokan yang tambah parah.

Pendidikan yang Membebaskan
Salah satu solusi kuncinya terletak di bidang pendidikan. Pendidikan macam apa yang harus kita format kembali menghadapi tantangan masalah besar ini sangat menentukan masa depan orang muda. Baik pendidikan formal maupun non-formal harus mencerminkan keprihatinan mendalam atas masalah ini. Selanjutnya, tidak bisa disangkal lagi, pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang membebaskan, memuat secara total proses liberasi (pembebasan) yang radikal (radix=akar-bhs. Latin; radikal=mengakar; artinya “meretas persoalan sampai ke akar-akarnya”) dan berlangsung secara struktural. Sejak dalam lingkup keluarga, sekolah hingga perguruan tinggi, proses pendidikan harus memuat penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan menampilkan wajah kebobrokan bangsa ini sebagai masalah besar yang harus dihadapi.

Pendidikan yang demikian itu tidak akan pernah menafikan atau mengabaikan penyadaran politik berikut seluk-beluk kerumitan persoalannya, yang pada gilirannya akan menyangkut pula bidang ekonomi dan kebudayaan masyarakat, sebagai unsur pokok dalam prosesnya. Di dalamnya, peserta didik diberi ruang dan kesempatan untuk memberdayakan diri berhadapan dengan pengalaman real, ilmu pengetahuan yang komprehensif (selengkap-lengkapnya), kerangka analisis permasalahan yang kritis dan refleksi yang terinternalisasikan (merasuk, meresap) dalam pikiran, mental dan sikap/perilaku sehari-hari. Dengan pendidikan model inilah pembaruan masyarakat dirintis, mulai dari generasi orang mudanya. (***)

Read more!

01 Desember 2006

HEBOH KEKERASAN "SMACK DOWN" (Refleksi tentang Kekerasan, Kekuasaan, dan Pantang Kekerasan)

Sepekan terakhir ini perhatian kita terpusat pada jatuhnya korban nyawa anak-anak akibat menonton tayangan Smack Down di sebuah televisi swasta. Peristiwa itu nyaris mampu mengalihkan perhatian publik dari kasus-kasus penting lainnya seperti masalah lumpur Lapindo dan krisis BBM. Lalu, tanpa komando, banyak pihak serempak mengutuk keras penayangan program acara televisi yang mengandung kekerasan (fisik). Padahal, bukankah tayangan kekerasan dalam media massa semacam itu bukan persoalan baru? Lebih lagi, bukankah persoalan kekerasan dalam bentuk lain telah, sedang dan masih terjadi dalam keseharian hidup kita? Lantas, apa yang menarik untuk disimak lebih lanjut dalam tragedi terbaru yang satu ini?

***

Kekerasan yang merasuki keseharian hidup kita bukan berwujud peristiwa-peristiwa parsial yang terpisah-pisah satu sama lain. Kekerasan bukan persoalan kasuistik yang terkotak-kotak dalam perbedaan dimensi ruang dan waktu. Namun, kekerasan sudah menjadi situasi yang integral, saling terhubung antar peristiwa dan kasus-kasusnya, bahkan menjadi bahaya dan ancaman yang semakin solid terhadap kehidupan, martabat dan eksistensi hidup masyarakat manusia. Kasus jatuhnya korban anak-anak saat bermain smack down meniru tayangan Smack Down yang mereka tonton di televisi tidak cukup kita cermati sebagai kasus yang terpisah dari kekerasan lain. Kasus itu harus dicurigai punya kaitan dengan kekerasan dalam area lain yang lebih bersifat struktural: kultur bisnis televisi dan sektor ekonomi lain yang makin mengabaikan etika, berhubungan dengan kekerasan negara yang dengan sadar mengabaikan regulasi komunikasi massa dan pendidikan lantaran lebih mementingkan sektor lain yang lebih menguntungkan, dan dipengaruhi beratnya usaha untuk bertahan hidup yang harus ditanggung setiap warga masyarakat di tengah himpitan persoalan sehari-hari, terlebih mereka yang serba tidak berdaya secara ekonomi, politik dan kultural. Dan … keterpikatan anak-anak atas senjata mainan pun bukan sekadar pemandangan pemasaran produk pasar semata, melainkan kekerasan sistematis yang disosialisasikan secara kultur, dengan dukungan media massa tentunya.

Saya pernah merenungkan, mengapa kekerasan begitu saja mudah dibiarkan, dan sebaliknya begitu memikat untuk diminati, dilakukan, (bahkan) dinikmati dan dipercaya punya daya ampuh dalam memecahkan masalah dari yang paling remeh-temeh sekalipun.

Pertama, karena terjadinya kekerasan hanya butuh naluri alamiah yang mudah muncul dari diri setiap individu manusia. Kekerasan diawali prasangka atau pikiran negatif yang jauh lebih mudah muncul daripada pikiran kritis dan positif yang membutuhkan pendidikan dan latihan. Kekerasan dipicu pelampiasan keinginan bebas yang jauh lebih mudah dilakukan daripada memunculkan sikap bertanggung jawab dan membatasi kebebasan dengan kesadaran adanya batas etis dan normatif atas perilaku. Banyak kekerasan didorong amarah sebagai reaksi kejiwaan spontan jauh lebih mudah diaktualisasikan daripada bersikap sabar, toleran dan memaafkan.

Kedua, karena kekerasan menemukan dukungan yang jauh lebih luas daripada sikap sebaliknya. Bukankah banyak tindak kekerasan yang telanjur diterima dan diyakni mampu mengondisikan kehidupan bersama di tengah masyarakat menjadi lebih baik? Bukankah tindakan main hakim sendiri dan menyerahkan pada proses hukum sama-sama didasari tindak kekerasan untuk menekan ancaman kekerasan yang lain, dan toh keduanya sama-sama diterima? Bukankah nilai kedisiplinan dianggap mustahil jika tanpa kekerasan?

Ketiga, karena kekerasan menjamin berlangsungnya kekuasaan yang perlu/harus diselenggarakan untuk mencapai kepentingan banyak pihak.

***

Kemarin pagi, saat menjemput anak sulung di sekolah sembari mengumpulkan pemikiran untuk menuliskan artikel ini, saya dan sesama orang tua murid menyaksikan dua siswa SMP (letak SMP sekompleks dengan TK di mana si sulung bersekolah) sedang dihukum duduk di lapangan, membaca buku sambil memikul 2 bongkah batu bata merah di tengkuk, sementara kawan-kawan mereka berolah raga. Dua terhukum itu bersalah lupa dan tidak membawa pakaian olah raga. Menurut beberapa orang tua murid, hal itu bagus untuk menanamkan nilai kedisiplinan. Tapi kemudian terjadi diskusi di antara kami atas beberapa pertanyaan: jika di hari-hari olah raga berikutnya mereka selalu ingat membawa pakaian olah raga, sebenarnya mereka itu sudah disiplin atau hanya takut dihukum? Atau mereka hanya akan disiplin karena takut pada guru atau siapa pun yang bisa menghukum mereka? Lalu jika tak ada lagi orang yang mereka takuti, masihkah mereka akan berdisiplin?

Kekuasaan dan kekerasan sudah lama integral. Dua buah peradaban itu seperti dua sisi dalam keping mata uang yang sama. Satu mendukung yang lain, dari pelbagai level kehidupan masyarakat. Maka, di saat roda kehidupan publik diserahkan pengaturannya oleh sebuah kekuasaan, maka kekerasan menjadi halal untuk diterapkan. Sebaliknya, kalangan yang miskin kekuasaan bisa berusaha memperolehnya dengan menciptakan kekerasan. Itulah mengapa membiarkan ketertindasan dan keterpurukan masyarakat warga dalam waktu yang panjang sangat berbahaya bagi keadaban publik. Karena situasi miskin kekuasaan mendorong warga untuk menggunakan kekerasan untuk merebut kekuasaan atau menciptakan kekuasaan relatif dalam ruang-ruang tertentu yang masih mungkin bisa dikuasainya. Situasi ini hinggap dalam diri preman pasar, guru olah raga, kepala keluarga, hingga anak-anak … mereka sedang miskin kekuasaan, tapi butuh kekuasaan untuk melangsungkan kepentingan masing-masing.

***

Jika benar tayangan acara Smack Down merangsang anak-anak untuk bertindak kekerasan, benarkah anak-anak itu, yang miskin kekuasaan, sedang membutuhkan kekuasaan pada usia mereka? Kekuasaan macam apa yang dibutuhkan anak-anak? Untuk kepentingan apa kekuasaan yang mereka butuhkan?

Hakekat kekuasaan sebenarnya misterius. Ia bisa menghadirkan kenikmatan, kesenangan dan kondisi-kondisi lain yang wajar diharapkan manusia. Kekuasaan yang dibutuhkan anak-anak sesungguhnya tidak berbeda substansi dengan kekuasaan yang dibutuhkan George Walker Bush, presiden AS itu. Kondisi berkuasa artinya menjadi pihak yang mengatasi pihak lain, lalu mendapatkan keuntungan-keuntungan dari situ. Jika dengan kekuasaan presidennya, AS memenangkan pertentangan ideologi, perebutan pasar dan persaingan ekonomi, maka dengan kekuasaan dalam bentuk lain anak-anak bisa mengatasi kawan-kawan sebayanya untuk memenangkan antrean bermain di perosotan atau untuk tidak khawatir pensil warnanya dipinjam sampai patah atau hilang.

Demikianlah tayangan acara Smack Down menghadirkan sebuah inspirasi tentang bagaimana kekuasaan bisa diraih dengan tindak kekerasan. Dan … dengan mulai menerapkan kekerasan fisik seperti yang diilustrasikan dalam tayangan itu, anak-anak belajar dan berlatih bagaimana mendapatkan kekuasaan.

***

Lantas, bagaimana sebaiknya menyikapi masalah ini bersama anak-anak kita?

Akhir Oktober lalu, di saat sedang mengikuti rapat kerja kantor di Villa Erema, Cisarua, Bogor, saya terpaksa meninggalkan forum sejenak untuk menerima panggilan telepon dari anak sulung saya di Jakarta. Lebih dari 20 menit saya habiskan untuk berkomunikasi dengan anak berumur 4 tahun 2 bulan itu, hanya untuk mendiskusikan dan memutuskan apakah ia boleh bermain pistol mainan atau tidak. Barangkali saya bisa menggunakan cara-cara konvensional yang lebih efisien dari segi waktu dan pulsa, yakni langsung melarang dan mengancamnya, maka urusan cepat selesai! Namun, pembicaraan menjadi 20 menit lebih karena saya “diganggu” paham saya sendiri: bahwa penting untuk meniadakan akses anak-anak saya dengan pelbagai bentuk hiburan yang mengandung kekerasan termasuk senjata mainan, namun sekaligus penting pula untuk mengusahakan itu tanpa menggunakan kekerasan pula, seperti ancaman hukuman atau pukulan. Niscaya, saya membutuhkan waktu 20 menit lebih untuk berdiskusi dengannya (tentu saja dengan bahasa yang mudah ia pahami) lalu mengusahakan kesepahaman bersama, bahwa senjata mainan sekalipun mendorong kita semakin permisif terhadap kekerasan sejak dari perkara-perkara kecil, bahwa bermain-main kekerasan membiasakan kita untuk tidak peka atau gelisah pada jahatnya kekerasan, bahwa ketidakpekaan kita mematikan akal budi dan nurani kita untuk menghormati dan berbelas kasih pada manusia lain. Dan akhirnya kami sepakat: tidak boleh ada senjata (mainan sekalipun!) di rumah kami.

Efektifkan cara itu selamanya? Entahlah. Tapi sekurang-kurangnya sampai saat ini tinggal satu “pistol” plastik yang masih tersimpan di kardus mainan si sulung, itu pun hanya ia gunakan untuk menembakkan air ke tanaman dalam pot milik neneknya.

***


Jakarta, 1 Desember 2006

Read more!

13 Januari 2006

MENGELOLA GERAKAN VOLUNTARIAN


PROLOG
Seorang sukarelawan pernah menggerutu karena pekerjaannya dinilai tidak beres oleh koordinatornya. Yang menarik, apapun alasannya, toh selalu dikembalikan kepada sifat pekerjaan itu sendiri: sukarela. Menanggapi teguran itu, si sukarelawan berujar, “Namanya aja pekerjaan sukarela. Bekerja sesukanya, dihargai serelanya”.

Tapi, benarkah seorang sukarelawan bisa begitu saja bekerja (seenak-enak hatinya) karena ia dihargai (digaji/dibayar?) serelanya? Atau sebaliknya, karena ia bekerja sesukanya, maka ia hanya dihargai serelanya (tidak harus sepantasnya)?

Tulisan berikut ingin mengajak pembaca merefleksikan apa hakekat pekerjaan atau aktivitas sukarela, bagaimana sebaiknya sukarelawan bekerja, serta bagaimana suatu komunitas atau lembaga mengelola (to manage) aktivitas sukarela (voluntarian) itu.

VOLUNTARIAN
Volunteer (sukarelawan) dan voluntarian (bersifat sukarela atau ke-sukarela-an) berasal dari istilah bahasa Latin: “voluntas” yang berarti “kehendak”. Dengan demikian, volunteer mengerjakan sesuatu berdasarkan kehendak dirinya sendiri untuk mengerjakannya, bukan karena permintaan, suruhan, perintah orang lain. Dengan begitu, seharusnya suatu aktivitas dan pekerjaan dilakukan seorang sukarelawan melulu karena ia memang menghendaki untuk mengerjakannya, didorong panggilan hatinya. Maka, segala pekerjaan dan aktivitas baru bisa dikatakan voluntarian (bersifat sukarela) jika didasari oleh panggilan atau kehendak untuk mengerjakannya, biasanya demi orang lain atau demi kebaikan bersama.

Dari akar kata tersebut, kita bisa membuat suatu distingsi (pembedaan) antara ke-sukarela-an dengan “sesukanya sendiri”. Ke-sukarela-an –karena didasari kehendak untuk bertindak dan panggilan untuk berbuat— pasti dikerjakan secara serius/sungguh-sungguh, bukan sesuka-sukanya sendiri. Ada daya “magis” (lagi-lagi dari istilah bahasa Latin yang berarti “semangat untuk selalu ingin menjadi lebih baik”) dalam menjalankan aktivitas sukarela/voluntarian, dan bukannya sifat “asal bekerja”, “ala kadarnya”, “daripada tidak berbuat apa-apa” atau “minimalis”.
Suatu aktivitas voluntarian mengandung keseriusan, kesungguhan, semangat ingin lebih baik. Oleh karena itu, sering kita jumpai seseorang yang mengerjakan sesuatu secara voluntarian selalu berjuang sekuat tenaga tanpa memikirkan penghargaan, nama baik, imbalan apalagi keuntungan bagi dirinya sendiri.

VOLUNTARIAN v.s. PROFESIONAL
Banyak orang seringkali memperlawankan sifat aktivitas/pekerjaan yang “voluntarian” dengan yang “profesional”. Celakanya, semuanya diukur hanya berdasarkan apakah pekerjaan itu mendapatkan imbalan atau tidak. Padahal, keduanya seiring sejalan, tidak layak diperlawankan. Mengapa?

Karena “profesional” berasal dari istilah bahasa Latin “profes” yang berarti “sumpah” atau “janji”. Artinya, suatu aktivitas dikerjakan secara profesional berarti aktivitas itu dikerjakan karena dorongan sumpah, janji, atau –dalam ungkapan lebih umum— adanya dasar tekad bulat untuk mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab. Bisa juga disimpulkan bahwa aktivitas/pekerjaan profesional memiliki dasar komitmen kuat untuk mengerjakannya, dan –biasanya— membutuhkan wawasan, ketrampilan, kapasitas atau keahlian tertentu yang spesifik dan memadai, kemudian –oleh karena itu— adalah hal wajar jika mendapatkan penghargaan/imbalan secara layak. Imbalan tersebut diberikan untuk menghargai dasar komitmen, wawasan, ketrampilan, kapasitas atau keahlian untuk melakukan aktivitas tertentu. Tapi, imbalan bukan tuntutan yang harus dipenuhi dari aktivitas profesional yang dikerjakan. Ia (imbalan) melulu adalah bentuk penghargaan dari pihak yang merasa dibantu, didukung, atau diuntungkan oleh aktivitas/pekerjaan profesional tersebut.

Dengan demikian, aktivitas voluntarian bisa dan sebaiknya dilakukan secara profesional, meski tidak menuntut imbalan. Bahwa ada pihak-pihak tertentu yang merasa perlu memberi imbal jasa kepada volunteer-nya, anggaplah itu sebagai karunia yang layak dinikmati. Sedangkan imbalan yang diberikan pada aktivitas/pekerjaan profesional selain bisa dianggap karunia, bisa jadi berfungsi sebagai bentuk dukungan (support) untuk semakin meningkatkan kualitas. Bahkan dalam konteks tertentu imbalan atas pekerjaan profesional bisa diberikan sebagai bentuk ikatan kerja, perjanjian, atau kontrak antara pekerja dan pemberi imbalan. Artinya, imbalan memiliki fungsi tertentu atas dasar kesepakatan/perjanjian kerja yang sudah disetujui dan wajib ditaati pekerja dan pemberi imbalan. Bahkan dalam konteks ini, imbalan bisa dicabut jika ada pelanggaran yang dilakukan pekerja atas kesepakatan yang dibuatnya dengan pemberi imbalan. Sebaliknya, imbalan bisa dituntut lebih oleh pekerja jika tidak sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui pemberi imbalan. Hal tersebut terjadi misalnya dalam hubungan antara karyawan (pekerja) dengan majikan (pemberi imbalan) di perusahaan.

Dari uraian di atas, tampak bahwa antara “voluntarian” dan “profesional” merupakan sifat yang tidak paralel, dan –oleh karena itu— tidak layak dipertentangkan. Kita baru bisa mempertentangkan antara “pekerjaan yang dibayar” dan “pekerjaan yang tidak dibayar”. Itu lebih jelas.

MANAJEMEN AKTIVITAS VOLUNTARIAN
Sesungguhnya, menurut ilmu ekonomi, semua aktivitas yang dikelola/di-manage pasti bertujuan agar aktivitas itu bisa dilakukan/dikerjakan secara profesional. Maka, aktivitas voluntarian di-manage agar dikerjakan secara profesional, lepas dari persoalan apakah ia mendapatkan imbalan atau tidak. Masalahnya, aktivitas yang dilakukan secara voluntarian tidak selalu mudah, bahkan mengandung kesulitan-kesulitan tertentu yang khas.
Aktivitas yang dilakukan secara voluntarian memiliki kharakter khas sbb.:

(1) dikerjakan secara sukarela, bukan karena konsekuensi tugas dan tanggung jawab, bukan juga karena perintah/instruksi.
(2) mensyaratkan kehendak atau niat tulus dari pelaksananya, atau kesepakatan untuk itu di antara sejumlah orang yang mengerjakannya.
(3) serba dibatasi oleh tanggung jawab, aktivitas, tugas lain yang melekat pada diri pelaksananya (yang mungkin akan lebih diprioritaskan pada waktu-waktu tertentu, sehingga aktivitas voluntarian dikesampingkan untuk sementara).
(4) membutuhkan kondisi-kondisi psikologis yang lebih mendukung untuk mengerjakannya (misalnya suasana hati yang kondusif untuk menegakkan komitmen yang sudah diambil/diputuskan, “langkah ringan” untuk mengerjakannya, dukungan afektif dari pihak-pihak lain yang memiliki relasi dengan aktivitas tersebut, dsb.).
(5) membutuhkan kelonggaran sistem dalam mengatur (bersama) mekanisme pelaksanaan aktivitas tersebut (lebih lentur terhadap perubahan situasi, kendala/hambatan yang mengganggu jadwal, pencapaian target, dsb.).

Untuk itu dibutuhkan suatu pengelolaan (manajemen) yang khas pula. Beberapa unsur kerangka dasar dari manajemen aktivitas voluntarian misalnya adalah sbb.:

(1) memunculkan kesadaran tertentu (melalui proses penyadaran) terhadap volunteer sebagai pelaku aktivitas voluntarian tentang ide/gagasan dasar, nilai penting (importancy) dan tujuan yang mendasari (dan mengawali) aktivitas voluntarian tersebut.
(2) memberi kesempatan yang cukup leluasa (tidak sangat kurang, tapi juga jangan sampai berlebihan) pada pengalaman pelaku dalam melaksanakan aktivitas itu, kemudian pembelajaran pelaku pada setiap pengalamannya itu (experiential learning).
(3) merumuskan sendiri/bersama penunjuk arah/pedoman (guidance) bagaimana aktivitas itu harus dikerjakan supaya berhasil dengan baik. Catatan: guidance lebih longgar daripada prosedur baku dan ketat.
(4) jika guidance belum cukup memadai, pelaku aktivitas masih mungkin merumuskan prosedur (standar?) bagaimana cara melakukan aktivitas tersebut. Namun yang harus diingat adalah prosedur ini hendaknya ditetapkan jika memang sungguh-sungguh membantu si pelaku dalam melaksanakan aktivitas tersebut (bukan sekedar supaya ada, supaya tampak hebat atau “lazimnya sih begitu...”), dan bersifat lentur terhadap perubahan/perkembangan situasi.
(5) evaluasi terhadap proses pelaksanaan aktivitas itu, untuk menimba pelajaran dari kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan, serta keberhasilan dan kegagalan. Tujuannya jelas: agar kekuatan/kelebihan/keberhasilan bisa dipertahankan, dan jangan sampai kelemahan/kekurangan/kegagalan terulang.
(6) menghargai dan memaknai jerih payah pelaku dalam melaksanakan aktivitas tersebut, melalui proses refleksi (menggali nilai/makna dari pengalaman). Tanpa proses ini, segala sesuatu serasa berlalu begitu saja, kosong dan tidak mengembangkan si pelaku dalam meningkatkan kualitas kehidupannya.

EPILOG
Demikianlah, mengelola aktivitas voluntarian perlu memperhatikan banyak hal secara serius . Tanpa kesungguhan untuk meningkatkan pengelolaan aktivitas voluntarian itu, bukan tidak mungkin gerakan voluntarian semakin lama semakin aus digerus perkembangan jaman, tak lagi laku dilirik sebagai salah satu alternatif menghadirkan kepenuhan hidup dengan cara berbagi dengan sesama manusia.

Tulisan ini masih merupakan ide-ide awal, belum merupakan kontruksi pemikiran yang komprehensif/utuh dan final atau sempurna. Maka, mari kita kembangkan bersama ide-ide lanjut tentang manajemen aktivitas voluntarian ini terus-menerus. (***)


Read more!