17 April 2008

PERISTIWA BERDARAH DI BALIK "VALENTINE DAY"

Menjelang tanggal 14 Februari setiap tahun, orang muda di pelbagai penjuru dunia mulai disibukkan dengan banyak urusan menyambut Valentine Day. Memo kecil tulisan Valentine berjudul “Love from your Valentine” yang sangat terkenal itu menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengirimkan souvenir, hadiah, atau kartu bertuliskan ucapan senada seperti “Be My Valentine”, dikirimkan untuk si buah hati.

Sayangnya, tak banyak yang tahu bahwa perayaan Valentine Day itu mempunyai latar belakang peristiwa tertentu, yang bisa jadi akan mengagetkan setiap orang yang merayakannya. Mengapa?

Peristiwa Berdarah
Saat itu Kekaisaran Romawi diperintah oleh Claudius II Gothicus (268-270 Masehi). Menghadapi ancaman bangsa bar-bar Germania (sekarang Jerman) di Utara, ia membutuhkan penambahan jumlah pasukan infanteri yang sangat terlatih untuk peperangan di pegunungan berhutan lebat. Maka mobilisasi umum pun diselenggarakan untuk merekrut laki-laki Romawi sebanyak mungkin untuk dilatih dan dijadikan tentara Angkatan Darat (army). Tapi betapa sulit mendapatkan antuasiasme pemuda Romawi waktu itu. Ternyata hambatan utama mereka adalah terlalu beratnya meninggalkan istri, anak dan keluarga yang mereka cintai. Maka Claudius II Gothicus segera memberlakukan larangan perkawinan bagi semua laki-laki, dan membatalkan semua pernikahan yang sudah direncanakan. Pada saat yang bersamaan, semua laki-laki diperintahkan untuk masuk dinas ketentaraan angkatan darat Romawi.

Dan perlawanan pun terjadi, salah satunya dari orang-orang Nasrani. Sesungguhnya perlawanan mereka sudah muncul sejak pemimpin mereka, Jesus, orang Nasareth-Palestina, satu koloni Romawi di tanah Arab, menyebarluaskan ide tentang cinta kasih universal bagi semua orang, paham anti kekerasan, penindasan dan penjajahan. Setelah Jesus dibunuh dengan hukuman salib, para pengikutnya hidup dalam pengejaran, penganiayaan dan pembunuhan. Namun itu tidak menyurutkan perjuangan mereka menyebarluaskan ajaran Jesus, bahkan sampai ke kota Roma.

Saat peraturan larangan perkawinan diberlakukan, orang-orang Nasrani membangkang. Mereka dipimpin dua orang ulama/imam mereka, yakni Valentine dan Marius. Mereka tetap meresmikan pernikahan, tentu saja secara rahasia, membantu penyembunyian pembangkang yang dicari-cari aparat dan menolong keluarga korban penangkapan. Sampai suatu saat keduanya ditangkap tepat setelah upacara perkawinan selesai. Keduanya diseret ke pengadilan Roma, dan dijatuhi hukuman pukul tongkat sampai mati dan penggal kepala.Namun banyak orang muda tetap mengunjungi Valentine di penjara. Salah satunya adalah anak gadis dari salah satu penjaga penjara. Valentine dan si gadis bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercakap-cakap, saling menguatkan dan menyemangati. Dan pada hari pelaksanaan eksekusi, 14 Februari 269 Masehi, Valentine memberinya sebuah catatan kecil dan menandainya dengan ucapan “Love from your Valentine”. Catatan kecil itu menyebarluas, dan hari pelaksanaan eksekusi Valentine menjadi peringatan bagi seluruh dunia akan pentingnya semangat cinta kasih universal kepada semua orang, yang tidak boleh dikalahkan meski berhadapan dengan kekuasaan dan hukuman. Dan untuk kesetiaan Valentine (dan Marius) sampai mati dalam membela cinta kasih sejati itu, Gereja Katolik menganugerahinya gelar Santo, orang kudus.

Manipulasi Sejarah
Namun, peringatan perjuangan dan eksekusi mati Santo Valentine lambat laun menyimpang dari semangat dasar dan latar belakang sejarahnya. Ratusan tahun setelah peristiwa berdarah itu, orang-orang di Wales mengubahnya menjadi pesta romantis dengan saling mengirim hadiah sendok kayu berhias pahatan kecil gambar hati, kunci dan lubang kunci, yang artinya “engkau membuka kunci hatiku”, kepada lawan jenisnya. Lalu mulai abad pertengahan, Valentine Day menjadi sekedar arena merebut simpati si buah hati untuk diminta menjadi pasangannya. Di beberapa negara, jika seorang perempuan mendapatkan hadiah pakaian dari seorang laki-laki, itu artinya ia ingin menikahinya suatu saat kelak. Di lain tempat, jika seorang perempuan melihat burung gereja tepat di hari Valentine, artinya kelak ia akan menikah dengan orang miskin, tapi tetap akan hidup bahagia bersama. Sebaliknya kalau ia melihat burung goldfinch, ia boleh berharap suatu saat nanti akan menikah dengan seorang konglomerat yang kaya raya. Kemudian sejak awal 1800-an, tanggal 14 Februari berubah sama sekali menjadi tanggal paling komersial. Loveland, sebuah kota di negara bagian Colorado-Amerika Serikat, mampu meraup laba besar hanya dari bisnis jasa pos pengiriman kartu Valentine dan hadiah beraneka ragam bentuk. Dan begitu pula yang terjadi di banyak negara di pelbagai belahan dunia.

Ted Olsen (1997), jurnalis Catholic Online (http://www.christianitytoday.com) pernah mengkritik keras tradisi Valentine day ini. Menurutnya, Valentine berikut Marius dan latar belakang kematiannya tidak ada hubungannya dengan sekedar cinta romantis (romantic love). Kalau kita runut sejarah proses penyimpangan hikmah perjuangan Valentine, faktor pokok yang mempengaruhi penyimpangan itu tak lain dan tak bukan adalah kepentingan kapitalisme global, yang dalam kasus lain berhasil memanipulasi peringatan Santo Nicolaus atau dikenal dengan Santa Claus atau Sinterklas setiap tanggal 6 Desember menjadi pusat perhatian sekitar perayaan Natal lebih dari makna kelahiran Isa al Masih, tanda solidaritas Allah di tengah situasi hidup manusia yang penuh ketidakberesan (hanya karena Sinterklas bisa menjadi salesman hadiah Natal yang baik). Padahal tak banyak yang tahu bahwa Nicolaus dihormati dan diperingati atas komitmen sosialnya pada anak-anak miskin dan yatim piatu dan kegiatannya menyantuni mereka dengan berbagai barang kebutuhan sehari-hari (Neil Postman, 1995).Fenomena peringatan Valentine Day dan Santa Claus yang salah kaprah itu membuktikan bahwa keduanya telah menjadi obyek manipulasi sejarah sekaligus pendangkalan makna demi melangsungkan kepentingan kapitalisme. Keduanya telah dijadikan komoditas bagi industri barang dan jasa yang memberikan laba finansial perusahaan, dan bukan lagi menjadi momentum yang baik untuk seluruh umat manusia merefleksikan nilai-nilai cinta kasih universal, keadilan, anti kekerasan, dan anti-penindasan.

Kini, banyak orang muda tidak merasa perlu peduli lagi pada makna peringatan Valentine Day sesungguhnya. Penyebabnya adalah sistem pendidikan yang tidak mendorong munculnya kekritisan, pendidikan yang membelenggu kebebasan, yang anti-dialogika (Paulo Freire, 1985). Bukankah sesungguhnya orang muda berpotensi untuk terus-menerus ingin tahu dan berpikir tentang segala sesuatu, namun mereka dibodohkan sehingga menjadi sekedar banyak tahu dan hafal sederetan ilmu atau rumus? Apalagi situasi ini diperparah oleh kecerdikan –atau tepatnya kelicikan—sistem kapitalisme yang berhasil memanfaatkan kerdilnya pola pikir mereka ini menjadi sasaran penipuan dan manipulasi yang dikemas dalam bungkus entertainment atau hiburan yang sudah pasti lebih disukai, sehingga mereka berhasil dijadikan penganut ideologi dominan kapitalisme (Escobar, 1998).

Dalam kasus Valentine Day ini, nilai cinta universal (bagi semua orang) dan semangat menolak tirani yang anti cinta, sepertinya tidak laku untuk dijual. Maka, sebelum menawarkan barang dan jasa, sistem kapitalis menyebarluaskan ide bahwa Valentine Day adalah Hari Bercinta Sedunia, dan untuk merayakannya semua orang harus membeli banyak barang dan jasa sebagai hadiah, kenang-kenangan dan sarana pengungkapan afeksi yang dangkal.

Nilai Sejati Valentine Day
Maka, sebaiknya nilai sejati peringatan Valentine Day yang berintikan cinta universal perlu dihadirkan kembali. Cara ini sekaligus menjadi upaya pendidikan yang membebaskan (Paulo Freire, 1985) yang lebih sejati dan serius. Menyebarluaskan (kembali) makna sesungguhnya atas Valentine Day adalah satu dari sekian banyak cara menyelenggarakan transformasi pendidikan atas generasi muda kita di jaman sekarang, hingga mereka bersama masyarakatnya kembali memiliki cinta kasih sejati bagi semua orang, terlebih di dalam situasi bangsa yang tengah didera perpecahan antar golongan, kebencian dan curiga satu sama lain, kekerasan yang menjadi-jadi, dan individualisme-hedonisme massal.

Label:

1 Komentar:

Blogger Helena D. Justicia mengatakan...

Felix, aku suka baca artikel ini. Aku pernah nulis topik yang sama, tapi perspektif kita berbeda. So, akan kukirim via e-mail aja ya, tentang perspektif yang beda itu... Salam! Keep lovin'!

12 September 2008 pukul 09.08.00 WIB  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda