15 Desember 2006

KOMUNIKASI PARTISIPATIF dalam PROSES PEMBERDAYAAN RAKYAT




Prolog
Upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia yang sedang berada di tengah-tengah krisis multi-dimensional dewasa ini sungguh berat dilaksanakan. Salah satu tantangannya terletak pada proses komunikasi sosial yang terjadi dalam pelbagai bidang: komunikasi politik, komunikasi media massa, komunikasi pembangunan, dsb. Beratnya tantangan di bidang komunikasi tersebut lebih-lebih disebabkan oleh berlangsungnya proses komunikasi sosial yang cenderung mengikuti pola strategi pembangunan selama lebih dari 4 dasawarsa terakhir yang ingin mendudukkan percepatan laju pertumbuhan ekonomi lebih daripada target lainnya (pemerataan misalnya).

Tulisan ini ingin mengulas bagaimana awal mula sebuah pilihan strategi pembangunan komunikasi sosial telah diambil dan diputuskan serta dilaksanakan oleh negara, namun kurang jeli (atau sengaja mengabaikan) dampak-dampaknya yang akan muncul di masa yang akan datang. Kemudian, tulisan ini juga ingin mengulas bagaimana komunikasi partisipatif sebagai pilihan lainnya telah ditawarkan kepada publik, termasuk elit penguasa negara, sebagai strategi alternatif menghadapi tantangan-tantangan dalam upaya pemberdayaan masyarakat tersebut.

Menilai Pembangunan
Pembangunan di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia memiliki keterkaitan antar ruang, waktu dan persoalan dengan segala situasi yang terbentuk di lingkup global/internasion­al. Seusai Perang Dunia II, banyak negara dunia ketiga yang terlibat perang (langsung maupun tidak) pada umumnya dilanda krisis yang parah. Negara-negara itu umumnya baru saja merde­ka dari kolonialisme negara-negara Eropa, sehingga banyak terjadi goncangan dan perubahan dalam konstruksi politik intern maupun dalam hubungan internasional. Sementara itu, struktur dan sistem ekonomi belum tertata dengan mantap, oleh karena begitu rapuhnya struktur ekonomi yang diwariskan negara penjajahnya. Demikian pula di tingkat kondisi kultur­al. Walaupun kemerdekaan politis telah diperoleh, belum tentu kemerdekaan kultural --dalam arti merdeka secara mental-- telah dimiliki.

Untuk memperbaiki kondisi dunia, --terutama pada awalnya-- kondisi negara-negara Eropa Barat, dan (baru kemudian setelah itu) negara dunia ketiga, Amerika Serikat berinisiatif memunculkan program bantuan ekonomi bertitel Marshall Plan. Bantuan itu mencakup dukungan modal, teknolo­gi, program-program pembangunan dan tenaga ahli. Tujuannya adalah untuk mempercepat peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara penerima bantuan, tentu saja dengan mekanisme pengaturan strategi sesuai proposal negara donor. Begitulah selanjutnya bantuan itu (tentu saja) mengkondisikan negara Eropa lebih dahulu berha­sil menata kembali kondisi ekonominya (oleh karena basis ekonomi yang lebih mantap tertata sebelum perang) dibanding­kan negara bekas koloni. Sejak itu, dimulailah penerapan paradigma pembangunan yang mempunyai karakter: vertical top-down (pola pembangunan ditransferkan begitu saja dari negara donor kepada negara penerima bantuan), bertumpu pada investasi modal asing, dan dijalankan sesuai dengan program dan rencana proyek negara-negara maju, dan diterapkannya teori trickle-down effect atau efek tetesan ke bawah, yang asumsinya: manfaat program-program intervensi sosial di negara-negara Dunia Ketiga akan menetes ke bawah kepada setiap orang, mulai dari mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekono­mi paling atas yang pertama-tama mengakses pesan-pesan kemajuan atas dukungan kemampuan ekonomi mereka, dan selanjutnya diteruskan kepada mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah (Jahi, 1993:75; Nasution, 1988).

Paradigma pembangunan yang berciri vertical top-down ini memunculkan beberapa masalah ser­ius. Dalam konteks Indonesia, pembangunan yang diterapkan sesuai dengan model itu menimbulkan bebera­pa permasalahan di bidang politik, ekonomi dan budaya, baik di tingkat negara maupun massa-rakyat/grass-root level. Di tingkat negara, terjadi ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap negara-negara donor. Bahkan ketergantungan tidak terbatas dalam hal modal saja, melainkan juga kebijakan ekonomi. Alhasil, kebijakan ekonomi Indonesia tidak pernah mandiri. Proyek-proyek yang diadakan dengan bantuan modal, teknologi dan tenaga ahli asing tidak pernah berjalan efek­tif-efisien seiring kepentingan bangsa, melainkan lebih tertuju untuk memenuhi kepentingan negara-negara donor. Sementara itu, Indonesia semakin terdesak untuk ikut ambil bagian dalam pasar bebas yang dipelopori oleh negara-negara maju, tetapi sebenarnya tidak mempunyai kekua­tan untuk menentukan mekanisme pasar sebagaimana yang bisa dilakukan oleh negara maju sebagai bentuk intervensi negara terhadap mekanisme pasar yang katanya bebas.

Ketergantungan ekonomi berimbas pada ketergantungan politik Indonesia terhadap kebijakan politik donatur (IGGI/CGI, IMF) maupun investor non-organisasi internasional, sehingga begitu mudahlah donatur mendikte arah politik dalam negara Indonesia. Adalah hal yang masuk akal misalnya, jika negara-negara maju lebih memberikan dukungan (support) terhadap rejim tertentu, jika rejim tersebut dinilai berhasil mempertahankan kepentingan negara maju di Indonesia. Meski hal ini mengabaikan aspirasi politik massa-rakyat Indonesia sendiri. Demikian pula sebaliknya, negara maju bisa saja segera berubah pikiran sejauh stabilitas politik di Indonesia tidak bisa lagi dijamin oleh rejim tertentu dan menyebabkan stabilitas ekonomi rapuh dan terlalu riskan bagi investasi modal negara maju dilanjutkan di Indonesia.

Ketergantungan di tingkat politik dan ekonomi menimbulkan ketergantungan kultural. Mentalitas dan cara berpikir masyarakat, sejak dari kaum elit peme­gang kekuasaan negara sampai massa-rakyatnya diformat menurut pola-pola propaganda kebudayaan negara-negara maju. Segala sesuatu yang menjadi sikap keseharian warga serba disesuaikan, diadaptasikan dengan selera negara maju. Maka, tak jarang terlihat banyak orang Indonesia mematut-matut diri agar senantiasa sesuai dengan gaya hidup, sikap, bahasa, selera, trend masyarakat negara maju, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Di tingkat massa-rakyat, terjadi ketidakberdayaan di bidang politik, ekonomi maupun budaya. Kekuasaan politik negara yang dijalankan oleh lembaga eksekutif tanpa mekanisme kontrol lembaga legislatif sebagaimana manifestasi negara berkedaulatan rakyat. Bahkan, mekanisme kerja lembaga legislatif pun pada akhirnya tidak mampu dikontrol oleh massa-rakyat pemilihnya (mengingat dalam perkembangannya, lembaga legislatif semacam DPR lebih mencerminkan kepentingan elit partai politik ketimbang massa-rakyat yang diwakilinya).

Pertumbuhan ekonomi yang bersendikan pertumbuhan kapital tidak diimbangi pemera­taan pendapatan mengakibatkan kekayaan tertimbun pada kelom­pok minoritas yang superior dalam penguasaan modal dan sumber daya, sementara kelompok mayoritas tetap terpinggirkan. Penerapan model "tetesan ke bawah" tidak mampu memberi hasil yang direncanakan. Pada kenyataannya, manfaat pembangunan tidak pernah "menetes" sampai jauh "ke bawah", tetapi hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat yang berada dalam kelas sosial teratas. Di banyak negara dunia ketiga, fenomena ini terlihat jelas dari timbulnya ketimpangan sosial ekonomi yang semakin parah (Jahi, 1993:57). Sementara itu sentralisasi informasi yang didukung perkembangan teknologi berlangsung begitu imperialistis sehingga masuklah peradaban Barat tanpa seleksi atau reserve. Hal ini menimbulkan erosi moral dan etika massa-rakyat seiring dengan proses yang sama yang terjadi dengan kaum elitnya. Dalam kurun waktu sampai tahun-tahun terakhir abad ke-20, serangkaian masalah itu terakumulasi sehingga memunculkan situasi krisis politik, ekonomi maupun budaya sampai saat ini.

Paradigma Lama Komunikasi Vertical Top-Down
Kondisi yang mensubordinasikan Indonesia dan negara-negara dunia ketiga dalam situasi global dunia; maupun subordinasi massa-rakyat berhadapan dengan pemegang kekuasaan negara dalam konteks situasi Indonesia (menurut Galtung: hubungan negara centre [C] dengan negara periphery [P] maupun antara centre-nya negara periphery [cP] dan periphery-nya negara periphery [pP], dalam Windhu, 1992:41-54) sangat dilestarikan oleh pola-pola komunikasi. Oleh karena itu, digunakanlah pendekatan komunikasi pembangunan, yakni disiplin ilmu dan praktikum komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana, untuk meningkatkan "pembangunan manusiawi", yang berarti komunikasi dilakukan dengan tujuan untuk menghapuskan kemiskinan, pengangguran dan ketidakadilan (Nasution, 1988:82).

Salah satu kajian penting dalam pendekatan komunikasi pembangunan adalah permasalahan betapa rendahnya partisipasi rakyat dalam proses pembangunan akibat minimalnya kesempatan terja­dinya komunikasi yang adil dan seimbang antara rakyat dan pembuat keputusan negara dalam menentukan jalannya proses pembangunan. Keprihatinan ini dicerminkan oleh proses pemban­gunan yang tidak selalu mengutamakan kepentingan dan partisi­pasi rakyat, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan politis (stabilitas, status-quo, kekuasaan), akumulasi modal dan pertambahan keuntungan elit ekonomi, maupun superioritas dan dominasi pengaruh dalam lingkungan kultural bangsa.

Paradigma lama komunikasi pembangunan menekankan pada proses komunikasi manusia yang dalam model komunikasi linier konvensional. Model ini merupakan gambaran proses komunikasi yang berlangsung secara linier (searah) dari sumber kepada penerima melalui media (sumber-pesan-media-penerima). Model linier-konvensional tersebut dapat pula tergambarkan secara vertikal mengingat struktur stratifikasi sosial ma­syarakat terbagi menurut kelas atas, menengah dan bawah.

Asumsi dasar paradigma ini adalah bahwa komunikasi sangat diperlukan dalam peme­cahan masalah-masalah masyarakat, dengan memberikan penekanan elemen kognitif komunikasi (elemen komunikasi yang mem­punyai sasaran pada perubahan pola pikir atau ideologi). Komunikasi dirancang sedemikian rupa sehingga pesan-pesan persuasif yang telah dibakukan secara terpusat disuntikkan sebanyak mungkin kepada masyarakat. Asumsinya, semakin banyak pengaruh persuasif (yang positif dan konstruktif) disuntikkan, masyarakat semakin tergerak untuk melakukan apa yang diprogramkan dalam pembangunan, sesuai format pesan tersebut, karena pola pikirnya telah berhasil diubah lewat proses komunikasi itu (Oepen, 1988:1; Jahi, 1993:77).

Kelemahan paradigma lama ini, terletak pada diabaikannya aspek struktural dari proses pembangunan (kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi, kaitan kultural, pengawasan media, dsb.) (Oepen, 1988:1-2). Bahkan, penekanannya pada kecanggihan teknologi komunikasi (terutama media massa), yang begitu diyakini mampu membawa perubahan psikologis individu dan sosial, dengan serta merta menggusur kemungkinan diperhatikan dan dikembangkannya model-model tradisional komunikasi antar­pribadi (interpersonal communication) dan komunikasi kelom­pok (group communication), yang pada kenyataannya masih sangat menentukan keberhasilan komunikasi dalam masyarakat di banyak daerah di Indonesia.

Kritik terhadap paradigma lama tersebut secara kritis diru­muskan dalam imperialisme "budaya" atau imperialisme "media", yaitu pandangan bahwa media dapat membantu "modernisasi" dengan memperkenalkan nilai-nilai "barat" dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya "keaslian" budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapita­lisme dan karenannya prosesnya "imperialistis" serta dilaku­kan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menem­patkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan khususnya Amerika Serikat (McQuail, 1994:99).

Paradigma Baru Komunikasi Partisipatif-Horisontal
Tahun 1976 Everett M. Rogers memproklamasikan usangnya Para­digma Lama Komunikasi Pembangunan, yang segera disusul pemun­culan tesis-tesis baru tentang perombakan komunikasi pemban­gunan. Untuk itu dibutuhkan strategi pembangunan yang lebih mandiri dan adil bagi masyarakat lapisan bawah secara terde­sentralisasi yang sama sekali berbeda dengan model "top-down" (Oepen, 1988:2). Seirama dengan itu, pemikir pembangunan Indonesia, Soedjatmoko (1987), menyatakan bahwa yang seharusnya menjadi prioritas perhatian dalam penyusunan kebijakan pembangunan di Indonesia adalah kemampuan untuk berkembang baik secara sosial, ekono­mis maupun politis, di semua tingkat dan dalam semua komponen masyarakat, sehingga memungkinkan bangsa yang bersangkutan untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan, lalu "survive" di tengah-tengah dunia yang tidak stabil, rumit dan makin tunduk pada persaingan. Pembangunan harus tidak sebagai sesuatu yang diperbuat --lewat kegiatan dan ketrampilan yang diperoleh-- melainkan sebagai sesuatu yang berlangsung sebagai proses belajar. Maka dimulailah era paradigma baru komunikasi dalam pembangunan di Indonesia, yang lebih berciri partisipatif-horisontal.

Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif-horisontal tersebut dimunculkanlah kembali (revitalisasi) konsep komunikasi antarpribadi (interper­sonal communication), media rakyat (folk media), komunikasi kelompok (group communication) dan model komunikasi dua tahap (two-step flow communication). Selain itu, oleh karena ikatan kultural di banyak daerah, masyarakat Indonesia masih mengakui kharisma agen perubahan atau opinion leader (pemuka pendapat dalam masyarakat seperti kyai, guru, kadus, pemuka adat dsb.) sebagai aktor penting dalam proses komunikasi masyarakat (Oepen, 1988:2). Akan tetapi, pentingnya peranan opinion leader tidak bisa diartikan sebagai "penguasa baru" melainkan hanyalah sosok panutan yang menjadi jembatan perantara diada­kannya perubahan pola komunikasi lama yang vertikal dan tergantung media menuju pola komunikasi yang horisontal yang sepenuhnya mengandalkan demokratisasi dan partisipasi rakyat.

Dalam paradigma komunikasi partisipatif-horisontal ini, semua massa-rakyat diundang untuk lebih berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horisontal, interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Dalam proses komunikasi, tidak hanya ada sumber atau penerima saja. Sumber juga penerima, penerima juga sumber dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang sederajat. Karena itu kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan "berbagi" atau "berdialog". Isi komunikasi bukan lagi "pesan" yang dirancang oleh sumber dari atas, melainkan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dikodifikasikan menjadi "tema". Dan tema inilah yang disoroti, dibicarakan dan dianalisa. Semua suara didengar dan diperhatikan untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Maka yang terlibat dalam model komuni­kasi ini bukan lagi "sumber dan penerima" melainkan partisi­pan" yang satu dengan yang lain (Wibowo, 1994:2-3).

Dalam komunikasi partisipatif-horisontal, media --dalam wujud hardware (perangkat keras, alat-alat, mekanik) maupun software (perangkat lunak, program-program)-- juga mengambil peranan penting. Tapi bukan sebagai sarana penyebar informasi atau pesan, melainkan sebagai sarana penyaji tema (Wibowo, 1994:3). Selain itu, praktek komunikasi partisipatif-horisontal pertama-tama sangat menekankan proses pembebasan masyarakat secara kultural, dari budaya apa pun yang mengkondisikan mereka "miskin suara" atau yang kita kenal dengan "budaya bisu" (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M], 1989). “Budaya bisu” dicerminkan oleh situasi manakala sebuah kebijaksanaan diterapkan dan diperintahkan untuk dilaksanakan, masyarakat tidak pernah sadar atau berdaya untuk menilainya dahulu dari sudut kepentingan dan keuntungan mereka sehingga seringkali kebijakan pembangunan yang sesung­guhnya lebih menguntungkan penguasa modal dan kekuasaan pemerintahan tidak mereka ketahui dan tinggal mereka laksanakan saja. Maka, pembebasan rakyat dari “budaya bisu” berarti menggalakkan upaya apa saja untuk membantu rakyat memunculkan kesadarannya terhadap apa saja yang dilaksanakan oleh negara ini, agar senantiasa bisa berorientasi pada kepentingan rakyat. Untuk itu dibutuhkan proses pendidikan politik yang intentis, yang membuat rakyat sadar akan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan, tidak sekedar menjadi pelaksana, melainkan menjadi penentu segenap proses lahirnya kebijakan sampai pelaksanaan sebuah kebijakan.

Epilog
Paradigma komunikasi partisipatif-horisontal memungkinkan lahirnya harapan baru akan semakin intensifnya upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia menuju situasi yang lebih demokratis, berdaya, merdeka sepenuhnya, dalam kerangka civil society. Namun yang perlu diingat, perintisan komunikasi partisipatif tidak mulai dari tingkatan struktur atas yang hanya menjangkau aspek hukum dan perundangan, sistem pemerintahan dan niat baik elit penguasa, melainkan perlu dirintis sejak dari kehidupan sehari-hari dan persoalan sederhana dalam masyarakat itu sendiri.


REFERENSI
Fakih, Mansour, Budaya Bisu, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, 1989.
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta, 1994.
Nasution, Zulkarimein, Komunikasi Pembangunan, Erlangga, Jakarta, 1988.
Oepen, Manfred (ed.), Media Rakyat, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, 1988.
Wibowo, Fred, “Komunikasi Media Teater Rakyat”, Paper Workshop Komunikasi Teater Rakyat, Studio Audio Visual-Universitas Sanata Darma, Yogyakarta, 1994.
Windhu, I. Marsana, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Kanisius, Yogyakarta, 1992.

(Catatan: Untuk tulisan Dr. Soedjatmoko (1987) dan Amri Jahi (1993) belum diketahui identitas kepustakaannya karena kedua buku tersebut sudah hilang pada saat daftar referensi ini ditulis.)