05 Desember 2006

SELAMATKAN KESADARAN "KAUM PENIKMAT"


Apa mau dikata, jika kenyataan menunjukkan bahwa di tengah-tengah perubahan situasi Indonesia yang berlangsung begitu cepat sekaligus tak mudah dipahami seperti dewasa ini, masih terdapat orang muda dalam jumlah cukup besar yang “gagap” dalam menghadapinya. Budi bahasa politik yang digunakan secara “massal” oleh media massa dalam menyebarluaskan lukisan peristiwa demi peristiwa ternyata tidak bisa begitu saja mudah ditangkap oleh “massa” orang muda. Sehingga tak banyak di antara mereka yang benar-benar memahami dalam situasi macam apa (lagi) mereka kini. Akibatnya, bermunculanlah suatu generasi yang terseret arus deras gelombang jaman tanpa tahu bagaimana mereka harus berusaha berpegangan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Keberartian dan Keberdayaan yang Hilang
Satu penyebab kebobrokan serius tentang kondisi orang muda yang demikian itu adalah marginalisasi (peminggiran) orang muda dalam kehidupan sosial politik). Buktinya, praktek depolitisasi (pemberangusan hak berpartisipasi aktif dalam politik) tidak hanya telah diterapkan terhadap mahasiswa dalam lingkungan pendidikan tinggi sejak NKK/BKK 1978, melainkan juga memengaruhi seluruh format pendidikan formal orang muda. Dari tingkat dasar hingga menengah-atas, pendidikan orang muda dijalankan justru untuk upaya “pengebirian potensi kritis”: akal sehat dan suara hati semakin dijauhkan dari sentuhan keprihatinan konkret masyarakatnya, dan iming-iming kesuksesan pribadi dijejalkan dalam alam imajinasi mereka sejak kecil.

Akibatnya sunguh menerikan, dan –barangkali- belum pernah dibayangkan sebelumnya. Orang muda menjadi semakin kehilangan keberartian dan keberdayaannya sebagai orang muda dan pribadi manusia. Persis seperti yang disesalkan Paulo Freire, dalam kondisi seperti ini, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali menjadi “pengikut kelompok penguasa” dan “penganut ideologi dominan” atau pikiran untuk memuja-muja penguasa dan kekuasaan (Escobar, 1998). Dua kutub inilah sumber kesuksesan hidup di masa depan yang telanjur menjadi impian yang mereka yakini sejak kecil.

Karena kehilangan keberartian sebagai manusia muda, mereka tidak lagi peduli dengan potensi yang mereka miliki di usia muda. Semangat menjadi pemoeda bukan lagi barang penting yang harus mereka miliki. Pengalaman sejarah para pendahulu bangsa yang memperjuangkan nasib bangsanya sejak mereka menjadi pemoeda tidak lagi menempati tempat terhormat dalam memoria mereka, sehingga jangankan meneladani mereka, kehendak untuk menghormati jasa mereka saja sulit melintas dalam benak pikiran.
Bahkan lebih parah lagi, sesungguhnya tak banyak yang mereka pikirkan dan rencanakan untuk menghadapi tantangan masa depan. Seringkali muncul dalam pikiran mereka: telah ada “jalan tol keberhasilan” yang tinggal mereka lalui menuju masa depan, lurus dan serba mudah-mulus. Itulah dampak dari diterapkannya ideologi “pembangunanisme” selama orde Soeharto berkuasa, yang secara timpang berorientasi melulu pada keberhasilan ekonomi, sekaligus berdampingan dengan stabilitas keamanan dan depolitisasi nasional sebagai syarat mutlaknya.

Pengaruh Televisi
Kebobrokan itu semakin diperparah oleh kemajuan teknologi komunikasi elektronika, khususnya televisi. Kemajuan teknologi televisi yang muncul begitu dahsyat sejak akhir 1980-an telah berhasil mengubah wajah masyarakat, termasuk orang muda. Dalil “The Global Village” (gambaran teori ini sering dipermudah: dunia serasa sesempit sebuah desa) dari buah pemikiran ahli komunikasi Marshall McLuhan berhasil menjelaskan betapa teknologi komunikasi-informasi secara gilang gemilang mengambrukkan batas-batas ruang dan waktu (Stephen W. Littlejohn, 1996). Sehinga perkembangan peradaban di Amerika Serikat bisa dengan cepat dan mudah dihadirkan di ruang televisi di rumah-rumah Jakarta.

Persoalannya, kemenangan gelombang siaran televisi mengalahkan batas ruang dan waktu tidak pernah diikuti kelahiran pemikiran bijak tentang berbagai kemungkinan buruk yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan budaya berbagai belahan dunia yang ditembusnya. Maka jangan heran ketika kebudayaan “hiburan” di Amerika Serikat saat ini bisa begitu saja diimitasi (ditiru) orang muda di Jakarta: perilaku, cara berpakaian, bahasa, bahkan relasi antara laki-laki dan perempuan dan perilaku seksual pun harus diformat kembali atau disesuaikan dengan gaya orang muda Amerika, kalau tak ingin dicap “kurang beradab” (biasa diterjemahkan secara bebas tak bertanggungjawab dengan istilah “kurang gaul”). Kalau Neil Postman (1995) mengutuk budaya televisi sebagai penyebab merosot tajamnya kualitas diskursus dan konversasi (khasanah dialektika pemikiran dan perbincangan) masyarakat Amerika Serikat, apa yang akan dikomentarinya tentang masyarakat Indonesia?? Bukankah dengan begitu kita sekarang tanpa sadar sedang mengimitasi kebobrokan hanya karena itu terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat yang telanjur dinobatkan sebagai “masyarakat paling maju kebudayaannya” dewasa ini?

Dalam konteks hiburan, masyarakat dan khususnya orang muda kita sudah menjadi semacam “kaum penikmat”, sebutan untuk konsumen hiburan: pemakai segala macam produk kebudayaan yang diformat dalam bentuk hiburan. Akibatnya mungkin tidak begitu tampak, tetapi sesungguhnya bisa diramalkan akan menjadi sangat mengerikan. Bisa dikatakan, menyuntikkan heroin dan menghisap ganja akan punya dampak yang sama buruknya dengan menyaksikan tayangan televisi tanpa screen saringan) kekritisan dalam benak pikiran kita; sama-sama meninabobokkan kita dalam kenikmatan imajinasi tentang situasi serba bahagia, aman-nyaman-tenteram dan tanpa ada persoalan lagi yang perlu dipikirkan apalagi dihadapi sebagai tantangan. Semacam chatarsis menurut kritik teater Aristoteles, yakni pemuasan dan pelepasan afeksi (perasaan) manusia setelah meluapkan emosinya dengan rangsangan kenikmatan (teater) hiburan. Begitu efek chatarsis ini mempengaruhi indera dan otak manusia dalam waktu sekian lama, maka kesadaran kritis dalam pola pikir dan hati nurani manusia tak akan tumbuh sehat, sudah ditumpulkan, bahkan cacat(!). Dan tinggallah sebatang tubuh yang inginnya have fun terus-menerus, siap dihantarkan pada tragedi kehancuran manusia seperti diramalkan Aldous Huxley: “manusia justru mencintai sang penindas, memuja berbagai teknologi yang memandulkan kemampuan berpikirnya, hingga kehancuran kita bukan disebabkan oleh segala hal yang kita benci, namun disebabkan oleh hal-hal yang (justru!) kita sukai” (Postman, 1995).

Maka perjuangan menyelamatkan kesadaran kritis masyarakat, terutama orang mudanya, menjadi semakin mendesak untuk dipikirkan dan digerakkan. Tanpa upaya ini, jangan harap kebobrokan mental dan struktur masyarakat Indonesia yang “sakit” ini terselesaikan, karena pergantian rezim bobrok akan segera disusul generasi muda penerusnya yang tak kalah bobroknya, dan siap membawa kepemimpinan bangsa dalam pelbagai sektor menuju kebobrokan yang tambah parah.

Pendidikan yang Membebaskan
Salah satu solusi kuncinya terletak di bidang pendidikan. Pendidikan macam apa yang harus kita format kembali menghadapi tantangan masalah besar ini sangat menentukan masa depan orang muda. Baik pendidikan formal maupun non-formal harus mencerminkan keprihatinan mendalam atas masalah ini. Selanjutnya, tidak bisa disangkal lagi, pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang membebaskan, memuat secara total proses liberasi (pembebasan) yang radikal (radix=akar-bhs. Latin; radikal=mengakar; artinya “meretas persoalan sampai ke akar-akarnya”) dan berlangsung secara struktural. Sejak dalam lingkup keluarga, sekolah hingga perguruan tinggi, proses pendidikan harus memuat penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan menampilkan wajah kebobrokan bangsa ini sebagai masalah besar yang harus dihadapi.

Pendidikan yang demikian itu tidak akan pernah menafikan atau mengabaikan penyadaran politik berikut seluk-beluk kerumitan persoalannya, yang pada gilirannya akan menyangkut pula bidang ekonomi dan kebudayaan masyarakat, sebagai unsur pokok dalam prosesnya. Di dalamnya, peserta didik diberi ruang dan kesempatan untuk memberdayakan diri berhadapan dengan pengalaman real, ilmu pengetahuan yang komprehensif (selengkap-lengkapnya), kerangka analisis permasalahan yang kritis dan refleksi yang terinternalisasikan (merasuk, meresap) dalam pikiran, mental dan sikap/perilaku sehari-hari. Dengan pendidikan model inilah pembaruan masyarakat dirintis, mulai dari generasi orang mudanya. (***)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda