07 Desember 2006

GERAKAN PEMOEDA UNTUK REKONSILIASI INDONESIA


MELIHAT KENYATAAN
Dalam menapaki penggal zaman yang sering disebut-sebut “era Reformasi” saat ini, bangsa Indonesia acap kali berhadapan dengan pelbagai peristiwa konflik dengan kekerasan di pelbagai lapisan masyarakat dan pelosok daerah. Luka-luka massa-rakyat akibat salah urusnya negeri ini di masa lampau ikut memicu kemunculan berbagai masalah kekerasan di daerah-daerah.

Yang memprihatinkan, concern terhadap berbagai kasus konflik dengan kekerasan tersebut belum juga berhasil menuntaskan akar permasalahannya sendiri, sehingga –biarpun banyak analisis telah ditindaklanjuti dengan berbagai program aksi penyelesaian konflik—permasalahan-permasalahan kekerasan tersebut terus terjadi, bahkan meluas-menyebar menjadi bentuk-bentuk konflik kekerasan yang lain seperti semakin brutalnya tindakan main hakim sendiri, tawuran antar pelajar dan kampung, premanisme maupun kontra premanisme, sampai konflik kekerasan dengan latar belakang perpecahan antar etnis dan pemeluk agama. Sementara itu, pemoeda sebagai generasi yang sering diberi predikat “penerus bangsa” belum cukup maksimal menyumbangkan keterlibatan mereka dalam mengatasi masalah ini; biarpun dalam beberapa pengalaman justru kelompok, organisasi dan lembaga yang secara intensif memiliki concern terhadap masalah konflik dengan kekerasan ini digerakkan oleh mereka yang masih disebut pemoeda.

Oleh karena itu, peran pemoeda untuk melibatkan diri dan menyumbangkan segala potensi mereka secara khusus dalam penyelesaian berbagai konflik kekerasan dan upaya merintis perdamaian di Indonesia perlu ditingkatkan. Terlebih lagi, peran tersebut perlu menekankan keterbukaan dan kerja sama lintas etnis dan agama, demi keutuhan masyarakat bangsa.

MENILAI PERMASALAHAN
Sebagaimana situasi integrasi masyarakat selalu terancam oleh disintegrasi sosial, keutuhan bangsa dan negara Indonesia pun senantiasa menghadapi ancaman perpecahan akibat salah mengelola konflik sosial yang terjadi di dalamnya. Konflik itu sendiri sesungguhnya suatu proses dinamis dalam setiap masyarakat, sejauh kita percaya bahwa banyak perbedaan sosial mustahil disatukan –apalagi diseragamkan(!)—sepenuhnya. Bahkan tanpa konflik, suatu masyarakat tidak akan pernah terdorong untuk maju, karena justru dengan adanya konflik setiap anggota masyarakat belajar untuk menemukan sendi-sendi kekuatan bersama yang menentukan setiap dimensi politis (cara mengatur kehidupan bersama) dari perkembangan masyarakat.

Masalahnya sekarang, kita telanjur mengalami suatu paruh zaman di mana konflik diharamkan, demi terciptanya harmoni (ke-serba serasi-an) dalam masyarakat, meskipun seringkali sangat artificial (dibikin-bikin) dan bersifat “seolah-olah”, sejauh masih ada dan efektifnya struktur kekuasaan yang menjaga, menjamin dan memaksakan situasi tersebut. Akibatnya, masyarakat yang tidak terbiasa menghadapi konflik secara dewasa tiba-tiba berhadapan dengan situasi di mana kekuasaan penjamin-penjaga-pemaksa harus luluh berhadapan dengan gerakan perlawanan (pro-demokrasi) massal. Ketidakbiasaan, keterasingan dan ketidakdewasaan dalam menghadapi konflik cenderung mengkondisikan masyarakat berlaku salah dalam mengelola konflik tersebut. Akibat berikutnya, seringkali konflik diselesaikan dengan tindakan kekerasan, yakni buah “keteladanan”(?) dari penguasa yang selalu mengedepankan tindakan kekerasan dalam menekan konflik itu sendiri.

Situasi tersebut diperparah dengan munculnya –secara beramai-ramai—kepentingan politik individu, kelompok, atau golongan yang ikut berperan dalam memainkan berbagai peristiwa konflik yang terjadi. Sehingga tak jarang konflik mengalami pembiasan dari pokok persoalan semula, cepat atau lambat menjadi besar dan meluas, sehingga meledak dalam peristiwa kekerasan di berbagai daerah.

Ledakan-ledakan kekerasan yang semula berskala kecil yang terjadi terpisah-pisah di berbagai daerah lambat laun mempengaruhi kehidupan masyarakat seluruh di tingkat nasional, persis seperti proses akumulasi intensitas kekerasan dalam alur spiral kekerasan (Camara, 1971). Akibatnya, pola kehidupan masyarakat dicemari dengan suasana kekerasan: keinginan untuk menyelesaikan konflik hampir selalu berhadapan dengan dorongan untuk mencari kemenangan terhadap lawan konflik, dan untuk itu hampir tidak ada referensi tindakan lain selain tindakan kekerasan yang pada gilirannya menjadi pilihan. Situasi harmoni yang artificial segera digantikan oleh situasi kekerasan, chaostic, kacau, serba sulit terkendali kembali.

Maka, dalam situasi separah itu, tidak hanya aksi-aksi manajemen konflik kasuistik yang perlu diselenggarakan, melainkan rekonsiliasi yang dirintis terus-menerus. Targetnya jelas: tidak hanya menyelesaikan konflik-konflik secara kasuistik, melainkan merintis dan menciptakan perdamaian sejati kembali di seluruh lapisan masyarakat secara nasional, mulai dari linkup yang paling kecil (tingkat basis).

BUDAYA DAMAI SEBAGAI BUDAYA TANDING
Satu anasir yang sangat mempengaruhi parahnya situasi kekerasan dalam masyarakat adalah begitu dominannya budaya kekerasan yang meracuni pola kehidupan sosial. Budaya tersebut tidak tercipta seketika akibat terjadinya peristiwa kekerasan, melainkan mempengaruhi pola pikir, cita rasa dan perilaku masyarakat secara evolutif, perlahan-lahan, tapi pasti dan sistematis. Selama budaya kekerasan ini masih cukup dominan mempengaruhi masyarakat, menjadi satu-satunya referensi dalam laku-sikap hidup warga masyarakat, selama itu pula upaya rekonsiliasi tidak akan pernah terwujud. Artinya, dibutuhkan suatu upaya perlawanan yang tak kalah intensif, pasti dan sistematis terhadap budaya kekerasan. Dibutuhkan budaya damai (sebagai lawan dari budaya kekerasan) sebagai budaya tanding.

Budaya damai merupakan integritas pola pikir, cita rasa dan perilaku individu, kelompok/komunitas, seluruh masyarakat yang mencerminkan kecintaan pada perdamaian dan kedamaian. Budaya damai terbangun dari struktur cara berpikir yang menolak setiap tindakan dan sistem kekerasan, didukung cita rasa yang anti, benci, jijik terhadap kekerasan dan –oleh karena itu—menghargai perdamaian secara total, dan sikap/tindakan konkret tanpa kekerasan yang mencerminkan manusia cinta damai. Budaya damai merupakan (performance) utuh kemanusiaan lebih daripada sekedar wacana. Akhirnya, dari yang lingkupnya personal, budaya damai perlahan-lahan tapi pasti perlu terus-menerus didorong menjadi suasana kehidupan bersama.

Upaya menghadirkan budaya damai saat ini hampir selalu menemui sikap sinis, sama halnya menyosialisasikan sikap dan gerakan anti-kekerasan yang tak jarang bertemu dengan cemoohan. Hal ini disebabkan oleh karena begitu dominannya budaya kekerasan yang tertanam dalam keseharian masyarakat. Oleh karena itu, jika ingin melawan budaya kekerasan, perlu upaya menyosialisasikan budaya damai dengan pelbagai cara yang mungkin dilakukan, dari yang sederhana berlingkup terbatas hingga cara-cara kreatif-canggih berlingkup luas.

Dalam konteks generasi pemoeda, sosialisasi budaya damai sebagai budaya tanding masih harus berhadapan dengan budaya populer yang --seiring dengan kemajuan teknologi informasi—semakin banyak dianut dan kemudian mempengaruhi setiap perilaku hidup mereka. Seringkali dijumpai masalah, budaya damai yang diperkenalkan dan ditawarkan kepada pemoeda sebagai budaya kolektif dianggap kurang sesuai dengan trend kebutuhan dan kesukaan mereka dewasa ini, yang lebih berorientasi pada hiburan (seperti musik, fashion, film) dan kesuksesan hidup individual (karir). Tapi bagaimanapun demi kuatnya komitmen pada perdamaian, sosialisasi budaya damai terhadap generasi pemoeda harus tetap dilancarkan, kalau perlu memanfaatkan alam pikiran, interest dan gaya mereka, serta menggunakan media yang tak kalah kreatif serta canggih seperti yang digunakan pada sosialisasi budaya poluper.

MENGGALI SPIRITUALITAS PERDAMAIAN
Dalam konteks yang lebih spesifik, salah satu potensi kekuatan yang sesungguhnya sudah dimiliki masyarakat Indonesia yang beriman dan beragama adalah adanya nilai-nilai perdamaian yang diwahyukan oleh Allah kepada setiap agama yang dianut. Artinya, tidak ada alasan bagi setiap orang yang memeluk agama tertentu demi imannya untuk menolak nilai-nilai perdamaian.

Sebagai contoh, sejauh yang bisa dibagikan/disharingkan dari penggalian/refleksi iman, spiritualitas perdamaian dalam nilai-nilai Kristiani bisa dijabarkan dalam beberapa pokok, yaitu:

Pertama, manusia diciptakan secitra dengan Allah Sang PenciptaNya. Artinya, manusia diciptakan dengan sejak semula mewarisi kebaikan-kebaikan Allah: memiliki nilai-nilai cinta, kasih, perdamaian, keadilan, kebenaran, persaudaraan, kesederajatan. (Kitab Kejadian 1:26-28). Karena mewarisi dan memiliki kebaikan Allah, interaksi antar manusia adalah damai pada mulanya. Tapi, karena mulai muncul pengingkaran pada nilai-nilai kebaikan Allah (misalnya keinginan manguasai, mau menang sendiri, mencari keuntungan sendiri, menikmati ketaklukan sesama manusia lain terhadap dirinya sendiri, maka perdamaian dirusak sendiri oleh manusia. (misalnya Kitab Kejadian 4:1-16)

Kedua, manusia hendaknya menghargai kehidupan. Allah Sang Pencipta yang menciptakan manusia dan kehidupan alam semesta berikut segala isinya adalah Allah yang hidup, Allah sumber hidup (Injil Yohanes 1). Maka, manusia yang diciptakanNya dan diberiNya kehidupan sudah semestinya memperjuangkan kehidupan yang diberikan kepadanya itu oleh karena cinta dan kasih Allah. Sebaliknya, manusia yang tidak menghargai kehidupan yang sudah diberikan kepada Allah –dengan melakukan kekerasan atau bahkan pembunuhan dan pemusnahan kehidupan—sama dengan manusia yang terlepas dari akar peciptaanya, yakni Allah sendiri. Pendek kata, manusia yang tidak menghargai hidup adalah manusia yang tidak mengakui dan menghormati Allah, atau dengan kata lain, alangkah mustahilnya manusia mengakui dan menghormati Allah tapi dia melakukan tindakan yang berlawanan dengan Allah.

Ketiga, penghargaan kepada kehidupan manusia dan kemanusiaan. Penghargaan pada kehidupan mengerucut pada penghargaan yang terutama pada kehidupan manusia dan kemanusiaan. Ini bukan berarti manusia tidak perlu menghargai kehidupan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan, tapi hanya lebih memprioritaskan kehidupan manusia, dan oleh karena itu Allah mengaruaniakan kepada manusia kekuasaan untuk memanfaatkan alam demi mempertahankan kehidupannya. (Misalnya Kitab Kejadian 1: 28-30).

Penghargaan kepada kehidupan manusia merupakan salah satu ciri khas manusia dengan makhluk hidup lain dan makhluk mati yang diciptakan Allah. Karena, hanya manusia yang mampu menghargai kehidupan sesama manusia dan makhluk lain, sedangkan ini tidak terjadi pada makhluk lain. Misalnya, hewan hanya mampu menghargai kehidupan makhluk sejenis (sesama hewan), terutama satu species dan satu keturunan. Sedangkan makhluk lain sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menghargai makhluk lain itu. Sebaliknya, jika manusia tidak mampu menghargai kehidupan sesama manusia, ia tidak akan pernah berhasil menjadi manusia sewajarnya.

Keempat, sikap anti-kekerasan. Penghargaan kepada hidup manusia menuntut konsekuensi pola pikir, disposisi sikap dan komitmen memperjuangkan hidup manusia, atau menghindarkan semua manusia dari segala situasi yang mengancam kehidupannya, seperti kekerasan dan pembunuhan, ketidakadilan dan penindasan. Maka penghargaan kepada kehidupan perlu diwujudkan dengan sikap anti-kekerasan. (misalnya Injil Markus 12:28-34 tentang Cinta Kasih, Injil Yohanes 7:53-8:11 tentang Perempuan yang Berzinah).

MERINTIS PEMBARUAN
Mempertimbangkan segenap persoalan dan tantangan tersebut, rekonsiliasi sebagai gerakan hidup bersama perlu terus-menerus diselenggarakan dalam berbagai aksi konkret seperti:
Pertama, sosialisasi nilai-nilai perdamaian dan anti-kekerasan.
Kedua, sosialisasi metode-metode manajemen konflik demi perdamaian, dengan cara seperti pelatihan-pelatihan ketrampilan negosiasi dan mediasi.
Ketiga, ajakan hidup dalam komunitas-komunitas plural serta menguatkan ikatan komunitas plural yang sudah ada dalam masyarakat (seperti tradisi-tradisi kekeluargaan kampung/ lingkungan pemukiman).

Segenap aksi konkret tersebut perlu diintegrasikan dengan upaya yang tak kalah serius dalam kontekstualisasi nilai-nilai iman dan ajaran-ajaran agama terhadap cita-cita perdamaian. Dengan demikian, agama benar-benar menjadi tatanan atau pegangan hidup bermasyarakat yang justru menyemaikan spiritualitas perdamaian di kalangan penganutnya (termasuk generasi pemoeda), dan bukannya menjadi sarana menyuburkan situasi kekerasan dalam masyarakat. (*** )


Jakarta, 7 Desember 2006

(Ditulis ulang dari makalah untuk Dialog Nasional “Pemuda sebagai Generasi Penerus dalam Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Paradigma Reformasi” – Hotel Wisata-Jakarta, 29 Oktober 2001)

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Wah, semakin cemerlang saja mas felix
terus menulis ya mas...
saya senang baca tulisan sampeyan
meski panjang dan melelahkan

saya yudhit dari majalah progressio yang dulu pernah wawancara mas felix dan mas prapto
(progressio sekarang sudah "hilang")

saya juga delegasi pernas omki 2005

selamat berkarya
salam dari kawan-kawan di surabaya

14 Juni 2007 pukul 12.39.00 WIB  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda